Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 Mei 2022

Semarang: Kota dengan Penurunan Tanah Tercepat

Semarang menjadi kota kedua dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia. Perlu kebijakan pengelolaan air.

Masjid Layur Semarang dari masa ke masa (Sumber: Koleksi Tropen Museum, Yogi Fajri, Konsorsium Ground Up)

FOTO Masjid Layur koleksi Tropen Museum Belanda menjadi bukti penurunan tanah di Kota Semarang begitu cepat. Dalam foto hitam putih yang diambil tahun 1910, masjid bergaya arsitektur Arab-Melayu itu memiliki dua lantai.

Kini, masjid di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, itu hanya menyisakan satu lantai saja. Pengurus masjid setiap tahun meninggikan bangunan masjid karena terendam banjir rob setiap tahun, seperti rob terparah sejak 23 Mei 2022.

Konstruksi Kayu

Hal yang sama terjadi pada cagar budaya lainnya di Kota Semarang: Menara Mercusuar Willem III yang dibangun antara 1879 hingga 1884. Kini menara baja setinggi 32 meter ini sudah "tenggelam" setinggi tiga meter.

Penelitian Pei-Chin Wu, Meng Wei, dan Steven D’Hondt menyebutkan bahwa Semarang merupakan kota dengan laju penurunan tanah tertinggi kedua di dunia sebesar 3,96 sentimeter per tahun, setelah kota Tianjin di Cina, 5,22 sentimeter per tahun. Adapun Jakarta menjadi kota ketiga dengan penurunan tanah sebesar 3,44 sentimeter per tahun.

Kota dengan penurunan tanah tercepat di dunia

Penelitian yang dipublikasikan pada 16 April 2022 di jurnal Geophysical Research Letter Volume 49 Issue 7 ini dilakukan dengan mengamati 99 kota pesisir menggunakan Radar Apertur Sintetis Interferometrik (InSAR). Hasilnya, 33 kota-kota pesisir mengalami penurunan tanah yang lebih cepat dari pada naiknya permukaan laut.

Khusus untuk Semarang, peta geologi menunjukkan daerah yang mengalami penurunan adalah alluvial yang merupakan tanah lepas, tidak terkonsolidasi dan mudah terkikis air. Sedangkan daerah yang tidak mengalami penurunan adalah tanah dengan formasi damar yang tersusun oleh batu pasir, konglomerat, dan breksi vulkanik.

Daerah yang mengalami penurunan terutama di kawasan permukiman dan industri. “Berdasarkan perbedaan litologi ini, penurunan muka tanah di Semarang kemungkinan besar disebabkan oleh pengambilan air tanah,” tulis penelitian tersebut.

Ketika air tanah diambil secara berlebihan, akuifer akan tertekan dan bisa menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Apalagi jika tanah di kawasan tersebut merupakan tanah alluvial yang tidak terkonsolidasi dan dibebani bangunan-bangunan berat. Ketika banjir terjadi, baik akibat limpasan rob atau air hujan, tanah yang sudah turun kehilangan daya tampungnya, sehingga genangan makin dalam, makin lama, dan makin sulit dialirkan ke laut.

Sita Krisnandy, warga Bukit Kencana Jaya, membenarkan bahwa air jadi masalah sehari-hari di Semarang. “Pakai PAM saja airnya sehari nyala sehari mati, setiap hari,” kata Sita ketika dihubungi pada 26 Mei 2022.

Untuk menyiasati kebutuhan minum, mandi dan kebutuhan air sehari-hari Sita membangun dua tandon penampung air. “Kalau menyala, langsung diisi,” katanya. Walaupun, kata dia, kualitas air PAM juga tak bisa dibilang bagus-bagus amat. “Kadang cokelat seperti berlumpur.”

Warga lain di Semarang tidak seberuntung Sita. Mereka terpaksa mengonsumsi air tanah dalam karena sulitnya mendapatkan akses PAM. Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute for Water Literacy, mengatakan sebanyak 79,7% warga Semarang memakai air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari jumlah itu, sebanyak 48,6% memakai air tanah dalam (ATDm) dan 31,1% mengonsumsi air tanah dangkal (ATDl).

Nila tengah meneliti penurunan tanah ini bersama IHE Delft Institute for Water Education. Untuk sementara, penelitian yang masih berjalan ini menemukan bahwa pemerintah Kota Semarang juga berkontribusi terhadap pengambilan air tanah.

Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang diinisiasi pemerintah, misalnya, menyediakan sumur air tanah berbasis komunitas. Selain itu, “PDAM sendiri masih menggunakan air tanah dalam sebagai salah satu sumber air bakunya,” kata Nila.

Penurunan tanah sulit dicegah, tapi laju penurunan bisa diperlambat dengan kebijakan yang tepat. Data dari Radar InSAR menunjukkan bahwa laju penurunan tanah di Jakarta dan Shanghai (Ciba) melambat secara signifikan berdasarkan data 2015-2020.

Data yang sama justru menunjukkan bahwa penurunan tanah sangat cepat terjadi di Kabupaten Bekasi yang terletak di tenggara Jakarta. Penurunan tanah mencapai 5 sentimeter per tahun. Penurunan muka tanah yang cepat di Kabupaten Bekasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengambilan air tanah.

Penduduk Kabupaten Bekasi bertambah dari 2,6 juta pada 2010 menjadi 3,1 juta pada 2020 atau meningkat sekitar 20% selama sepuluh tahun. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan air bersih yang lebih besar yang mungkin hanya terpenuhi dengan membangun sumur air tanah dalam.

Tanpa penurunan tanah, kota-kota pesisir sebenarnya sudah mendapat ancaman tenggelam dari kenaikan muka air laut akibat krisis iklim. Pada akhirnya, aktivitas manusia—terutama ekstraksi air tanah—menjadi penyebab utama penurunan muka tanah yang pada akhirnya berdampak pada banjir rob di kota-kota pesisir.

Untuk menekan laju penurunan tanah Semarang, perlu intervensi kebijakan. Bukan hanya membuat tanggul, atau melarang dan memberi pajak tinggi bagi pengguna air tanah dalam, tapi mengelola dan menyediakan air bersih layak minum untuk penduduk.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain