Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Mei 2022

Biaya Mencapai FOLU Net Sink

Berapa biaya mencapai target FOLU net sink 2030? Perlu multiusaha kehutanan sebagai insentif kepada industri.

Deforestasi hutan Jambi (Foto: Asep Ayat/FD)

PEMERINTAH Indonesia menetapkan kebijakan Forestry and Land Use (FOLU) net sink atau penurunan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030. FOLU net sink adalah bagian dari mitigasi krisis iklim dengan menurunkan emisi di sektor ini sebesar 17,4% atau mengurangi emisi karbon 140 juta ton setara CO2.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan teknis mencapai FOLU net sink. Ada delapan cara mencapai target penurunan tersebut seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.168/2022 pada 24 Februari 2022.

Konstruksi Kayu

Menurut Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar kebijakan kehutanan IPB University, dalam webinar Pojok Iklim pada 25 Mei 2022, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi sebanyak 140 juta ton setara CO2 hingga 2030 sebesar Rp 204 triliun. Sebanyak 80% biaya ini akan ditanggung oleh dunia usaha yang memiliki izin bisnis sektor kehutanan dan penggunaan lahan.

Biaya tersebut diperlukan dalam menurunkan emisi maupun menciptakan penyerapan emisi. FOLU net sink adalah keseimbangan antara pelepasan dan penyerapan emisi karbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Bahkan dalam target FOLU net sink bisa dikategorikan emisi negatif karena penyerapannya akan didorong lebih banyak dibanding pelepasannya.

Menurut Dodik, bagi dunia usaha, satu cara mencapai FOLU net sink adalah menghutankan kembali areal tidak berhutan berupa konsesi kehutanan. Industri kehutanan berkembang sejak 1970 dengan komoditas utama kayu. Pengelolaan hutan yang tak berkelanjutan membuat 35 juta hektare kawasan hutan kini tak lagi memiliki tutupan hutan.

Dengan menghutankan kembali kawasan hutan yang tak berhutan, kata Dodik, reforestasi akan mendorong nilai ekonomis lahan terdegradasi. Sehingga dunia usaha juga akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi dengan terlibat dalam reforestasi melalui komoditas yang menguntungkan. Insentif seperti ini akan mendorong dunia usaha ikut dalam kebijakan FOLU net sink. 

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB pernah mengeluarkan kajian akademik sawit tanaman hutan untuk lahan terdegradasi. Namun, debat publik seputar isu ini menghilangkan kata kunci yang penting, yakni lahan terdegradasi. Debat publik berhenti pada sawit sebagai tanaman kehutanan.

Ilmu kehutanan mengenal konsep agroforestri. Melalui jangka benah, sawit kini bisa diakomodasi sebagai tanaman perkebunan yang bisa dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Dengan kombinasi ini, reforestasi akan memiliki nilai tambah: tutupan hutan di lahan terdegradasi kembali, nilai ekonomi lahan dari komoditas perkebunan, sekaligus mencegah perambahan hutan karena menghindarkan sebuah area tak bertuan. 

Mendorong regenerasi hutan alam yang terdegradasi merupakan kebijakan nomor 3 dalam FOLU net sink. Sesuai Perjanjian Paris 2015, yang menjadi kiblat mitigasi krisis iklim seluruh negara mencegah kenaikan suhu bumi 20 Celsius dibanding masa praindustri, menjaga hutan sekunder adalah satu cara mencapai nol-bersih emisi atau net zero emission.

Isu sensitif sawit sebagai tanaman perkebunan monokultur, membuat gagasan memanfaatkan komoditas bernilai ekonomis di lahan terdegradasi memakai agroforestri, membuat ide ini tidak masuk sebagai mitigasi regenerasi hutan alam terdegradasi. Skema menjaga hutan sekunder sebagai instrumen menyerap emisi melalui reforestasi hanya disebut melalui sertifikasi pengelolaan hutan lestari (PHL), mengurangi dampak pembalakan (RIL), dan silvikultur intensif.

Walhasil, FOLU net sink dalam sektor kehutanan dan penggunaan lahan belum memiliki insentif untuk mendorong dunia usaha terlibat dalam kebijakan ini mengingat meningkatkan penyerapan emisi karbon belum terlihat punya nilai ekonomis. Sebab, reforestasi hutan alam terdegradasi, jika hanya mengandalkan komoditas kayu, kini besar pasak daripada tiang.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain