Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Mei 2022

Nasib Peta Bencana Indonesia

Indonesia perlu peta bencana sebagai bagian dari adaptasi krisis iklim. Sejauh mana?

Kecepatan penurunan tanah di Semarang lebih cepat dibanding kenaikan muka air laut. Banjir rob menjadi salah satu bencana iklim yang memerlukan peta bencana berbasis geospasial (Foto: Istimewa)

SEBANYAK 40% penduduk Indonesia yang kini 270 juta jiwa tinggal di lokasi rawan bencana: gunung berapi, sungai, lahan kritis, pusat gempa dan sejarah tsunami. Untuk mitigasi bencana kita perlu peta bencana sehingga korban materi maupun jiwa bisa ditekan serendah mungkin.

Kini kerentanan penduduk Indonesia bertambah karena ada risiko bencana hidrometeorologi akibat krisis iklim. “Peta bencana akan mengurangi risikonya,” kata Antonius Wijanarto, Deputi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Indonesia dalam webinar Climate Talk pada 27 Mei 2022.

Untuk bisa memiliki peta bencana, kata Antonius, Indonesia memerlukan peta geospasial. Apa itu peta atau informasi geospasial? Di era krisis iklim, informasi geospasial akan menjadi dasar mitigasi krisis iklim yang diikuti pelbagai bencana iklim tadi.

Informasi geospasial adalah semua jenis informasi yang memiliki elemen lokasi (georeferensi), baik di atas, di permukaan, maupun di dalam permukaan bumi. Informasi geospasial terbagi dua jenis, yaitu informasi geospasial dasar dan informasi geospasial tematik.

Di Indonesia, informasi geospasial dasar berupa peta rupa bumi Indonesia. Sementara untuk informasi geospasial tematik biasanya diolah oleh masing-masing sektor karenca mencakup informasi spesifik, seperti data tutupan hutan yang wali datanya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Antonius menerangkan manajamen informasi geospasial bisa menjadi pengurang risiko bencana akibat perubahan iklim. Badan Nasional Penanggulanagan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang 2022 hingga 23 Mei 2022 terjadi 1.613 bencana yang memakan korban sebanyak 2.113.

Peta bencana biasanya menampilkan data tingkat risiko suatu area terhadap ancaman bencana. Untuk membuat peta risiko perlu seleksi lokasi risiko, indikator dominan penyumbang risiko, opsi adaptasi, diskusi intensif dengan pemangku kepentingan, lalu aksi adaptasi prioritasnya.

Indonesia berkomitmen melaksanakan tindakan pengkajian dan pemetaan kerentanan bencana daerah sebagai basis sistem informasi adaptasi. Targetnya adalah mengurangi risiko di semua sektor pembangunan. “Tujuannya untuk membangun ketahanan dan meningkatkan kapasitas adaptasi untuk mengelola risiko dalam mencapai ketahanan ekonomi, sosial, ekosistem, dan lanskap,” kata Anton.

Sebab, selain ancaman-ancaman fenomena alam yang melahirkan bencana, krisis iklim menaikkan risiko itu. Seperti banjir rob Semarang terjadi tak hanya akibat perigee, fenomena alam ketika bumi, matahari, dan bulan berada dalam posisi segaris, kenaikan suhu bumi menaikkan muka air laut.

Ditambah pembangunan infrastruktur yang tak ramah lingkungan, banjir rob Semarang meluas tak hanya di pesisir pantai. Aktivitas manusia dalam eksploitasi air-tanah-dalam turut mempercepat penurunan muka tanah yang lajunya lebih tinggi dibanding kenaikan muka air laut.

Peta bencana, dengan begitu, menjadi satu kebutuhan untuk mitigasi krisis iklim. Indonesia sudah menetapkan kebijakan satu peta atau one map policy. Namun kebijakan ini bagus di atas kertas namun sulit implementasi karena tiap sektor mengelola data sendiri. Artinya, integrasi yang memerlukan kelincahan birokrasi menjadi problemnya.

Padahal, kebijakan satu peta akan membuat data peta bencana lebih tertata sehingga aksi mitigasi juga tidak tumpang-tindih. “Tindakan pun akan diambil dengan cepat dan tepat,” kata Antonius.

Bencana, kata Anton, akan menjadi penghambat mencapai target pembangunan berkelanjutan—syarat atau strategi mitigasi krisis iklim berbasis kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi. Peta bencana tanpa informasi geospasial akan sulit beririsan dan berkelanjutan. “Bisa dikatakan bahwa informasi geospasial merupakan data integrator dalam mencapai pembangunan berkelanjutan,” katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain