HIU tikus atau Alopias pelagicus kini berstatus terancam (endangered) menurut IUCN. Perburuan oleh para nelayan untuk mengail keuntungan menjual sirip membuat populasinya terus berkurang, terutama di Kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi habitat hiu tikus.
Dulu, para nelayan menangkap hiu tikus karena mereka terjaring ketika menjala ikan. Belakangan, karena ada permintaan sup sirip hiu membuat mereka mengejar hiu tikus sebagai buruan utama. Seperti terjadi di Desa Lewalu.
Populasi hiu tikus di Alor pun menurun 80% dalam 15 tahun terakhir. Apalagi, para nelayan tak memilah jenis hiu tikus. Hiu tikus yang sedang hamil pun diangkut dan dijual. “Ketika perutnya dibelah, ada beberapa ekor anakan hiu di dalamnya,” kata Dewi Sari dari Thresher Shark Indonesia pada 28 Mei 2022.
Bekerja sama dengan Burung Indonesia, Thresher Shark meneliti keberadaan hiu tikus di Desa Lewalu dan Ampera, Alor, untuk menentukan jenin konservasi hiu tikus. Di dua desa ini para nelayan menjadikan hiu tikus sebagai tangkapan utama. Hasilnya, perlu ada penyadaran kepada nelayan agar tak menjaring hiu tikus.
Pendekatan dengan memakai sisi ekonomi dan budaya lumayan berhasil. Setelah penataran, para nelayan setuju menghentikan perburuan hiu tikus. Dari 16 nelayan yang ada di desa tersebut, sembilan di antaranya telah berhenti memburu hiu tikus.
Thresh Shark Indonesia memberikan bantuan 5 kapal fiber dan 2 mesin kapal untuk nelayan yang bersedia beralih buruan ke penangkapan tuna, ikan merah, dan kerapu. “Ada juga yang memilih pengembangan model usaha lain, seperti ayam petelur dan kios,” kata Dewi.
Selain Thresh Shark Indonesia di Kepulauan Alor, ada dua lembaga lainnya yang terlibat dalam program kemitraan ekosistem kritis, yaitu Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI) dan Yapeka. YKLI melakukan edukasi pengelolaan gurita yang berkelanjutan di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang yang berjarak 2,5 jam dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Nelayan di dua pulau ini menjadikan gurita tangkapan utama mereka. Gurita memang punya nilai ekonomi tinggi. Pada 2021, Sulawesi Selatan menangkap 3.906 ton gurita dengan harga Rp 70.543 per kilogram. “Penangkapan yang tidak berkelanjutan berpotensi menghabiskan sumber daya laut yaitu gurita itu sendiri,” kata Nirwan Dessibali, Direktur YKLI.
Nirwan mengedukasi nelayan sekitar untuk tata kelola perikanan yang efektif, berkelanjutan dan melindungi ekosistem. Setelah enam bulan berjalan, para nelayan penangkap gurita melakukan sistem buka tutup untuk menangkap gurita di 20 situs di kawasan tersebut. “Wilayah buka tutup selama tiga bulan ini berdasarkan hasil pendataan dan hasil diskusi para pihak. Ada dokumen yang disusun dan diteken seluruh pihak,” kata Nirwan.
Hingga saat ini, penangkapan gurita masih terus didata dari jenis kelamin, usia, untuk memastikan kelangsungan ekosistem. Upaya edukasi dan konservasi ini dilakukan dengan cara dialog. “Kami membawa nelayan-nelayan dari Pulau Langkai dan Lanjukan ke Wakatobi dan Banggai,” kata Nirwan.
Kearifan lokal nelayan-nelayan di Wakatobi dan Banggai melindungi sumber daya laut, di antaranya dengan melakukan sistem buka tutup untuk menangkap hasil laut tertentu sejak lama. “Menjaga ekosistem laut mengamankan masa depan mereka,” katanya.
Akbar Digdo dari Yapeka menggelar proyek perlindungan ekosistem padang lamun dan dugong di Sangihe. “Penggunaan alat penangkap ikan harus ramah lingkungan,” kata Akbar. Padang lamun merupakan penangkap karbon yang baik, tempat hidup ikan-ikan kecil.
Dugong yang sering keluar masuk dapat menyebarkan benih padang lamun menjadi lebih luas. “Karena itu keduanya harus dijaga, terutama dengan tidak menggunakan alat penangkap ikan yang membahayakan ekosistem ini,” katanya/
Ahli kelautan dari Burung Indonesia, Teguh Prawira, menjelaskan bahwa program kemitraan ekosistem kritis ini menekankan keterlibatan masyarakat untuk menjaga ekosistem laut: melindungi hiu tikus, menangkap gurita secara berkelanjutan dan melindungi ekosistem. “Dari awal tak ada pemaksaan target-target. Dialog dan edukasi terus didorong. Solusi diidentifikasi oleh masyarakat sendiri,” kata Teguh.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut jumlah penduduk Indonesia yang hidup di kawasan pesisir sejumlah 16.42 juta jiwa. Dengan panjang garis pantai Indonesia 95.181 kilometer, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dengan panjang 202.080 kilometer, banyak penduduk mengandalkan hidup dari perikanan.
Dengan sebagian besar di antaranya menggantungkan sumber penghidupan dari laut, jika tak menimbang keberlanjutan eksplotasi membuat biota langka akan ternacam, seperti populasi hiu tikus atau gurita yang menyediakan nilai ekonomi tinggi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :