LAJU penurunan tanah Semarang menjadi yang tercepat kedua di dunia, disusul Jakarta. Ekstraksi air tanah dalam yang berlebihan menjadi penyebabnya.
Ketika air tanah diambil secara berlebihan, akuifer akan tertekan dan bisa menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah. Apalagi jika tanah di kawasan tersebut merupakan tanah alluvial yang tidak terkonsolidasi dan dibebani bangunan-bangunan berat. Ini yang terjadi di kawasan Semarang
Saat banjir, akibat limpasan rob atau air hujan, permukaan tanah yang sudah turun itu kian kehilangan daya tampung. Sehingga genangan makin dalam, tak mudah surut, dan makin sulit dialirkan ke laut.
Krisis air bersih pun melanda Semarang dan Jakarta sejak lama. Dari zaman Belanda, catatan-catatan sejarah menunjukkan akses terhadap air di dua kota ini kian sulit. Sumur air tanah dalam menjadi solusi singkat bagi sebagian besar penduduk Semarang.
Penelitian Amrta Institute for Water Literacy yang tengah berjalan bersama IHE Delft Institute for Water Education menunjukkan bahwa sebanyak 79,7% penduduk Semarang memakai air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari jumlah itu, sebanyak 48,6% memakai air tanah dalam (ATDm), dan 31,1% memakai air tanah dangkal (ATDl).
Jika eksploitasi air-tanah-dalam dilarang, dari mana penduduk Semarang atau Jakarta mendapatkan air? “Jika langsung dilarang, mungkin akan sulit. Tapi sedapat mungkin pemanfaatan air tanah dikurangi sampai ambang batas aman (safe yield),” kata Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute for Water Literacy ketika dihubungi.
Menurut Nila, kebutuhan akan air sebaiknya memanfaatkan terlebih dahulu air permukaan yang diolah sehingga kualitasnya memadai untuk kebutuhan sehari-hari. Soalnya, bagi daerah-daerah yang mengalami penurunan tanah yang melebihi kemampuan pengisian ulang secara alami, akan mengakibatkan deformasi di bawah tanah dan permukaan tanah semakin turun.
Ahli Lingkungan dan Kerusakan Tanah IPB University, Basuki Wasis, menganjurkan hal serupa. Seperti Nila, untuk mencegah penurunan tanah kian masif, Basuki menyarankan agar pemerintah Kota Semarang atau Jakarta bisa mengolah air permukaan untuk kebutuhan konsumsi maupun sanitasi penduduknya. Basuki memberi contoh Jakarta yang mengolah air bendungan Jatiluhur melalui instalasi pengolahan air (IPA) sebelum dialirkan ke rumah-rumah untuk konsumsi dan mandi penduduk ibu kota.
Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Moedal Kota Semarang saat ini memiliki tiga sumber air, yaitu air artesis (sumur air tanah dalam), mata air, dan pengolahan air permukaan dari waduk Jatibarang. Namun, debit air keduanya kadang tak cukup memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. “Perbaiki dulu DAS di hulu,” kata Basuki.
Hulu daerah aliran sungai (DAS) tersebut harus menjadi lokasi konservasi tanah dan air dengan tutupan hutan minimal 30% dari luas wilayahnya. Hutan, berupa pohon yang beragam, akan mengikat air di dalam tanah sehingga menjadi sumber air bagi mata air maupun tanah dalam. Rehabilitasi lahan di hulu bisa dengan menanam pelbagai jenis pohon pelindung mata air.
Berikutnya, kata Basuki, waduk sebagai penampuang air harus terbebas dari perumahan di sekitarnya. “Masalah waduk paling besar saat ini adalah timbulan sampah rumah tangga. Waduk dan sungai tidak boleh tercemar,” katanya.
Secara regulasi, pemerintah juga mesti memberikan pajak yang tinggi untuk penggunaan air tanah. “Uang pajak bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki DAS yang tercemar dan rusak,” kata Basuki.
Yang terakhir, Basuki bersaran, adalah membangun sumur resapan. Di Jakarta, sejak Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, membuat kebijakan satu sumur resapan tiap 20 meter. Gubernur Anies Baswedan melanjutkan kebijakan ini.
Dengan sumur resapan, akuifer tanah yang kosong bisa kembali terisi air yang tertampung sumur-sumur resapan. “Sumur resapan penting terutama di daerah yang penurunan tanahnya sangat cepat,” katanya.
Di luar itu, kata dia, memang perlu ada tambahan sumber dari mata air. Tapi semua solusi ini pada dasarnya satu: perbaiki daerah aliran sungai. Dengan perbaikan di hulu ini, sumber air untuk Kota Semarang atau Jakarta akan hidup kembali. Penurunan tanah Semarang maupun pun bisa tercegah, kebutuhan utama penduduk terpenuhi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :