Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Juni 2022

KHDPK dan Eksistensi Hutan Jawa

Jika turut pada putusan Mahkamah Konstitusi, KDHPK belum bisa jalan dalam dua tahun ke depan. Kenapa?

Seorang petani Sunda Hejo di Garut, Jawa Barat, menunjukkan pohon kopi yang ia tanam dalam areal hutan Perum Perhutani (Foto: Rifqi Fauzan/FD).

PARA ahli kehutanan angkat bicara mengomentari kebijakan KHDPK atau kawasan hutan dengan pengelolaan khusus. Dalam sebuah webinar pada 28 Mei 2022, beberapa ahli kehutanan dan hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan IPB University menjadi pembicara webinar “KHDPK dan Eksistensi Hutan Jawa”. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mewakili Menteri Siti Nurbaya membuka webinar itu. Menurut dia, kebijakan KHDPK bertujuan membuat pemerataan ekonomi masyarakat melalui pengelolaan hutan Jawa. “KLHK menjemput Perhutani untuk mengelola hutan bersama masyarakat agar tak tumpang tindih,” katanya.

Konstruksi Kayu

Selama ini, sejak zaman kolonial Belanda, hutan Jawa dikelola oleh Perum Perhutani, BUMN bidang kehutanan. Total luas hutan yang dikelola perusahaan negara tertua ini seluas 2,4 juta hektare atau 18,87% dari total luas Pulau Jawa. Melalui KHDPK, pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare luas hutan tersebut melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287/2022.

Ada enam skema pengelolaan hutan Jawa melalui KHDPK, antara lain, rehabilitasi lahan kritis, jasa lingkungan, dan perhutanan sosial. Dalam praktiknya, KHDPK sebetulnya sudah diatur dalam UU Kehutanan. Namun hanya untuk tujuan pendidikan dan penelitian, seperti di hutan lindung.

UU Cipta Kerja yang diturunkan menjadi PP 23/2021 mengatur soal pengelolaan hutan dengan tujuan tertentu. Pengembangan dari PP ini adalah KHDPK dengan meluaskan tujuannya menjadi enam skema tadi. 

Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta mengatakan bahwa implementasi KHDPK harus sesuai dengan konsep keseimbangan ekosistem. Hutan Jawa kini mengalami tekanan akibat pertambahan penduduk yang membutuhkan lahan untuk permukiman dan penghidupan. Akibatnya, perambahan dan deforestasi terus meluas. “Lebih dari 50% penduduk Indonesia tinggal di Jawa,” ujar Sigit. 

Tekanan manusia pada hutan ini akan mendorong perubahan fungsi kawasan hutan yang mengancam keseimbangan ekosistem, terutama tata air yang menjadi kebutuhan pokok penduduk. Namun, kata dia, PP 23/2021 telah menjamin KHDPK tak boleh mengubah fungsi pokok kawasan hutan. “Jadi SK 287 tak boleh keluar dari PP 23,” kata Sigit. 

Sosiolog UGM Arie Sujito menambahkan tekanan pada hutan Jawa tak hanya datang dari pertambahan penduduk, juga industrialisasi yang masif tanpa diikuti perbaikan ekologi. Untuk menghindarkannya, kata Arie, kebijakan KHDPK harus diiringi dengan peta jalan konflik yang akan timbul akibat kebijakan itu.

Benturan di tingkat bawah terkait redistribusi akses akan besar karena menyangkut hak masyarakat mendapatkan akses lahan. Redistribusi lahan melalui perhutanan sosial, kata Arie, harus tepat sasaran dan mampu memadukan misi ekonom, sosial, dan lingkungan. “Sehingga tidak ada kasus sengketa lahan akibat klaim negara dan masyarakat tidak sama,” katanya.

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, melihat pemisahan pengelolaan hutan Jawa antara pemerintah dan Perhutani sebagai keputusan politik. KHDPK hendak membenahi Perhutani agar menjadi perusahaan negara yang efisien dan profesional.

Hariadi, yang pernah menjadi penasihat KPK, mengatakan banyak temuan KPK soal pungutan-pungutan liar pengelolaan hutan oleh masyarakat. Soal lain: tidak semua sumber daya hutan tercatat dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan Perhutani sehingga pemanfaatan lahan kawasan hutan tidak optimal. Tegakan hutan sebagai aset perusahaan belum masuk dalam sistem akuntansi perusahaan.

Untuk membereskan masalah itu, Perhutani harus mau bertransformasi secara radikal. Hal tersebut harus didukung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan cara membuat SK BUMN terkait transformasi Perhutani. “Jika setelah kebijakan KHDPK ini Perhutani masih seperti itu, KHDPK menjadi percuma,” tambah Hariadi. 

Totok Dwi, ahli hukum lingkungan UGM, menjelaskan bahwa sebagai kebijakan turunan UU Cipta Kerja, seharusnya implementasinya menunggu perbaikan beleid ini sesuai putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan omnibus law ini inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaikinya selama dua tahun.

Selama dua tahun tersebut, MK melarang pemerintah membuat kebijakan strategis yang berdampak luas. Jika melihat pengambil-alihan 1,1 juta hektare, kata Totok, KHDPK jelas sebagai kebijakan strategis berdampak luas. “Kalau mau taat azas, menurut saya pemerintah menahan KHDPK selama dua tahun,” katanya. “Selama kurun itu pemerintah menciptakan prakondisi menerapkan kebijakan KHDPK.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain