PERAN perempuan dalam perhutanan sosial kerap diragukan atau dipandang sebelah mata. Pandangan dan praktik bias gender mempengaruhi hal ini. Minimnya penelitian soal peran perempuan dalam perhutanan sosial bisa jadi turut menumbuhkan keraguan tersebut.
Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang bisa dilaksanakan dalam kawasan hutan negara, hutan hak, maupun hutan adat. Perhutanan sosial bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya mereka yang langsung mengelola, dengan tidak mengabaikan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya setempat. Karena itu perhutanan sosial berpijak pada tiga pilar: ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi. Dalam praktiknya, setiap pemegang persetujuan perhutanan sosial bisa menjalankan tiga kelola perhutanan sosial secara sinergis, yakni kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha.
Terkait isu perempuan dan gender, perhutanan sosial sebetulnya netral gender. Perhutanan sosial terbuka bagi siapa pun, laki-laki maupun perempuan. Ia tidak membedakan jenis kelamin pengelola, sejauh yang bersangkutan memang berhak sebagai penerima ataupun menjadi pengelola program ini.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 /2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial, Bab 1 poin 26 menjelaskan definisi masyarakat setempat yang berhak mengakses perhutanan sosial, yakni kesatuan sosial yang terdiri dari warga masyarakat, baik perempuan dan laki-laki, yang tinggal di sekitar kawasan hutan (dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau KTP setempat), memiliki riwayat pengelolaan kawasan hutan dan bergantung pada hutan. Selain tidak adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan sebagai penerima akses kelola dan manfaat, pemerintah mulai memberikan anggaran khusus untuk kelompok petani perempuan, seperti yang telah dilakukan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatra.
Setelah aturan netral gender, keraguan pada perempuan muncul lagi dalam hal kesepadanan dengan pengelola laki-laki. Misalnya data KLHK yang menunjukkan dari 1 juta kepala keluarga yang terdaftar sebagai penerima persetujuan perhutanan sosial, perempuan hanya sekitar 13,2 persen.
Dalam suatu webinar tentang perempuan dan perhutanan sosial pada 25 Agustus 2021, seorang perempuan pelaku perhutanan sosial, Purwani, menyinggung tantangan awal yang ia dan kelompoknya hadapi. Purwani bersama 24 perempuan membentuk Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama. Mereka semua tinggal di Desa Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sejak 5 Maret 2019, KPPL menjalankan skema kemitraan kehutanan di kawasan konservasi dengan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat.
Purwani berkisah, pada mulanya, dia dan rekan-rekannya diragukan oleh warga desanya sendiri. “Apa mungkin perempuan bisa mengelola hutan? Perempuan dianggap tidak mampu mengelola dan memanfaatkan hutan. Perempuan dianggap tidak memiliki pengalaman mengelola hutan,” katanya. Purwani dan kelompoknya berhasil menepis keraguan tersebut dengan aksi nyata.
Hal serupa juga dihadapi oleh Ai Nurhayati, satu-satunya perempuan yang menjadi anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Persatuan Gunung Puntang Indonesia (PGPI) di Bandung Barat, Jawa Barat. Dulu, keluarga dan kawan-kawannya kerap khawatir melihat kiprahnya di kelompok petani kopi agroforestri tersebut. “Mereka jadi sangat rewel dan protektif,” tutur Ai ketika menjadi narasumber Diskusi Serial Cangkir Kopi, bertemakan “Agroforestri sebagai Cara untuk Meningkatkan Kapasitas Ekonomi dan Ekologi”, 19 April 2022.
Lahan garapan Ai semula susah ditanami karena kurang tanah. Dengan kerja keras dan coba-coba, dalam dua tahun Ai berhasil mengembalikan kesuburan tanah, dengan pola agroforestri. Tanaman kopi ia padukan dengan cabai sebagai tanaman sela.
Mardha Tillah, pendamping petani hutan sosial dari Rimbawan Muda Indonesia (RMI), juga punya pengalaman serupa. Sejak 2008, dia aktif melakukan pendampingan di beberapa kasepuhan di Banten.
Ketika menjadi narasumber pada unjuk-bincang Perhutanan Sosial Responsif Gender, pada 26 Januari 2022, Mardha Tillah menceritakan dalam rapat-rapat perempuan kerap hanya menjadi penonton. “Mereka benar-benar menonton secara harafiah. Bahkan ada yang datang sambil membawa anak. Mereka memang hadir, namun duduk di lingkungan luar kegiatan,” katanya.
Pandangan umum yang melihat laki-laki yang seharusnya berkiprah di luar wilayah domestik, termasuk dalam mengakses hutan, baik untuk tujuan mencari penghidupan maupun tujuan lainnya, sering kali membuat peran perempuan dalam pengelolaan hutan menjadi terpinggirkan. Belum lagi pandangan yang melihat bahwa pengelolaan hutan merupakan pekerjaan berat dan keras yang secara fisik hanya mampu dipikul laki-laki.
Pengalaman saya di lapangan dan mendengar cerita-cerita pelaku perhutanan sosial memang peran laki-laki masih dominan. Tapi kiprah perempuan krusial dan penting. Bahkan, dalam beberapa hal, peran perempuan dalam mengelola hutan sosial susah tergantikan.
Misalnya dalam tradisi menganyam rotan perempuan Dayak di Kalimantan. Dalam anyaman rotan, ada praktik pelestarian budaya dengan cara memasukkan simbol-simbol alam khas Dayak dalam anyaman tersebut. Di Katimpun, Kapuas, Kalimantan Tengah, ada satu kelompok usaha Perhutanan Sosial (KUPS) bernama Dare Jawet, yang beranggotakan 43 orang. Semuanya perempuan asli Kapuas, sub suku Dayak di Kalimantan Tengah. KUPS Dare Jawet sendiri merupakan satu dari tiga KUPS yang ada di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Katimpun.
Anggota KUPS Dare Jawet beranggotakan perempuan yang sudah menikah dan sebagian lain janda tua. Usaha mereka menganyam rotan, atau dalam bahasa Dayak Ngaju disebut uwei. Menganyam uwei sudah dilakukan turun temurun oleh para perempuan di sini. “Kalau mau menikah, seorang perempuan harus bisa menganyam uwei,” tutur Ketua KUPS Dare Jawet, Rusida.
Dare pada nama KUPS artinya motif, sementara jawet adalah anyaman. Hasil anyaman ini berupa tas dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dalam setiap tas, selalu ada satu atau beberapa motif tradisional. Kegiatan menganyam ini, secara turun temurun diajarkan oleh para tambi buyut (nenek buyut) atau umai (ibu) kepada anak-anak perempuan Desa Katimpun.
Beberapa jenis motif yang terpampang di setiap tas antara lain matan andau (matahari), mata saluang (mata ikan saluang), mata bilis (mata ikan bilis), siku kalawet (siku dari kalawet, kera endemik khas Kalimantan Tengah), mata punai (mata burung punai), tunjang palara (akar tunjang dari kayu palara) dan upak pusu' (kulit bunga pinang). Seluruh motif tradisional tersebut merupakan simbol kedekatan masyarakat Desa Katimpun dengan alam sekitar.
Dalam contoh lain, peran penting perempuan dalam pengelolaan perhutanan sosial yang sulit tergantikan adalah pengelolaan tanaman obat (herbal atau jamu). Kajian-kajian etnobotanik, yang khusus menelaah pemanfaatan berbagai tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat setempat, memperlihatkan eratnya hubungan perempuan dengan berbagai jenis tumbuhan obat di kawasan hutan.
Tiga Kelola Perhutanan Sosial
Setelah sebuah Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) memperoleh persetujuan mengelola perhutanan hutan (dulu disebut izin), lazim dikenal adanya tiga kelola, yakni kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha. Kelola kawasan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan terkait lokasi hutan sosial yang telah mendapatkan persetujuan. Beberapa contoh kegiatannya adalah penandaan batas lokasi, menyepakati batas dan luas andil garapan masing-masing petani dalam kelompok, serta identifikasi berbagai macam potensi yang bisa dikembangkan maupun potensi kerentanan di lokasi yang patut menjadi perhatian KPS.
Lalu ada kelola kelembagaan yang terkait dengan berbagai upaya penguatan kelompok, peningkatan kapasitas anggota, perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi, kesepakatan dan aturan-aturan terkait lainnya, serta berbagai kegiatan yang menunjang.
Terakhir adalah kelola usaha, yakni berbagai upaya ataupun kegiatan untuk memulai, mendorong serta mengembangkan berbagai bentuk usaha hutan sosial sesuai potensi yang ada di wilayah kelola masing-masing KPS.
Ada beberapa hal penting terkait tiga kelola perhutanan sosial. Pertama, tiga kelola ini saling terkait dan mendukung secara sinergis, serta kerap beririsan. Kedua, tiga kelola tersebut selalu mendasarkan diri pada keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial-budaya. Ketiga, pengelolaan ini bersifat khas, berdasarkan keunikan dan potensi di masing-masing lokasi.
Untuk menunjukkan perempuan berkiprah dalam tiga kelola tadi, berikut ini beberapa contoh:
Di Aceh ada Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru mendapatkan persetujuan perhutanan sosial skema hutan desa di Kampung Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah. Pendirian LPHK ini terbilang unik. Kampung Damaran Baru beserta dua kampung lainnya berada di kaki Gunung Bumi Telong.
Pembalakan liar di gunung ini lumayan masif hingga pada 2015 banjir bandang menerjang perkebunan penduduk dan permukiman. Tak ingin terulang, Sumini dan Sujito, pasangan suami-istri petani kopi agroforestri, mengajak perempuan di kampungnya berembuk dan mendirikan kelompok khusus untuk menjaga dan mengelola hutan secara baik. LPHK Damaran Baru beranggotakan 30 orang, hanya sembilan laki-laki. Sumini menjadi ketua kelompoknya.
LPHK Damaran Baru pada 2019 mengantongi izin (sekarang disebut persetujuan) hutan desa dari KLHK, yang memberi hak kelola kawasan hutan seluas 251 hektare selama 35 tahun. Akses legal inilah yang menghantar masyarakat mendirikan dan mengembangkan berbagai lembaga yang diperlukan di bawah naungan LPHK, termasuk untuk tujuan penjagaan dan pengamanan kawasan hutan.
Di bawah LPHK Damaran Baru ada kelompok ranger yang bertugas melakukan patroli penjagaan kawasan hutan. Mereka mengadakan patroli hutan secara teratur untuk memastikan tidak ada yang keluar-masuk kawasan secara liar dan melakukan tindakan-tindakan destruktif seperti melukai batang kayu, menebang, dan memicu api. Anggota ranger ini berjumlah 24 orang, terdiri dari 10 perempuan dan 14 laki-laki.
Para perempuan yang menjadi ranger ini (dalam bahasa Gayo disebut “Mpu Uteun”) menunjukkan ketangguhan yang sama dengan anggota laki-laki dalam menjaga kawasan hutan di sekitar kampung mereka. Secara bergantian semua anggota berpatroli selama 10 hari dalam setiap bulan. Para Mpu Uteun ini juga sanggup berjalan kaki puluhan kilometer di dalam hutan. Kadang mereka harus bermalam di dalam hutan. Selain menjaga hutan dari para pembalak, selama patroli, ranger juga mencatat keanekaragaman flora dan fauna serta menanam berbagai macam bibit pohon.
Untuk kelola usaha, masyarakat Kampung Damaran Baru mengembangkan kopi agroforestri, palawija, usaha pembuatan tahu, dan desa wisata. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebut masyarakat Damaran Baru sebagai masyarakat pekerja keras dan gigih. Ketika warga di daerah lain masih tidur, penduduk di Damaran Baru sudah bekerja mengolah tahu untuk dipasok ke pasar Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Di Desa Pal 8 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, 25 perempuan yang membentuk KPPL Maju Bersama rajin mengajak penduduk sekitar melakukan penanaman serta mengampanyekan menolak pembalakan. Pada 1 Muharam, KPPL selalu membagi-bagikan bibit pohon kepada warga desa. Sedekah bibit pohon ini rutin diadakan setiap tanggal 1 Muharam sebagai bagian dari rangkaian Sedekah Bumi.
Untuk kelola usaha, anggota KPPL Maju Bersama membudidayakan pakis dan kecombrang, yang kemudian diolah menjadi berbagai produk dan dijual ke pasar lokal. Kecombrang diolah menjadi sirop, dodol, selai, kue wajik dan rempeyek. Sementara pakis diolah menjadi kudapan stik dan rempeyek.
Ke depan, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dilakukan agar bola salju kiprah perempuan dalam perhutanan sosial terus bergulir, membesar, dan berkelanjutan. Beberapa saran:
Pertama, meningkatkan kapasitas perempuan pengelola perhutanan sosial. Hal ini penting untuk didorong terus-menerus dalam rangka memastikan para perempuan tersebut bisa semakin mumpuni dan mandiri dalam mengelola perhutanan sosial.
Kedua, menambah pendamping. Pendamping di sini bisa dari unsur lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, maupun pihak lain. Pendamping harus dibekali dengan kemampuan, komitmen, dan integritas. Paradigma dan sikap akan keadilan gender mesti menjadi syarat utama dalam kapasitas para pendamping tersebut.
Ketiga dukungan kebijakan (termasuk program dan penganggaran) serta tindakan-tindakan afirmatif lainnya. Pemerintah, swasta, dan para pihak lainnya mesti bekerja sama meningkatkan kesadaran dan keadilan gender dalam kebijakan dan setiap dukungan.
Mendorong keterlibatan dan peran perempuan dalam perhutanan sosial memang tidak mudah. Sudah banyak contoh di lapangan yang membuktikan keunggulan perempuan dalam mengelola kawasan hutan dengan cara bijak dan adil yang bisa menjadi role model. Yang kita butuhkan adalah sinergi para pihak dalam kebijakan dan kerja nyata di lapangan untuk mendorong dan mewujudkannya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :