SEJAK Johannes Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak pada 1439, teknologi percetakan naik pesat. Buku memakai kertas, cap pada kain, atau bahan-bahan lain sebagai bagian dari budaya tulis. Semua teknik percetakan itu membutuhkan tinta. Di era krisis iklim kita perlu tinta organik atau ecoprint.
Dulu tinta terbuat dari bahan-bahan alami. Seiring kebutuhan yang meningkat dan penemuan minyak bumi dan bijih-bijih mineral, tinta saat ini dibuat dengan proses kimiawi.
Tinta terdiri dari beberapa komponen, yaitu bahan pewarna, bahan pengikat, bahan penolong, dan bahan pelarut. Tinta kimia dibuat dengan proses kimiawi rata-rata terdiri dari bahan yang tidak ramah lingkungan seperti minyak bumi, pembakaran gas alam, serbuk tembaga, serbuk aluminium. Sementara tinta organik terbuat dari bahan alam yang lebih ramah lingkungan.
Penggunaan tinta organik sebagai bahan cetak atau yang biasa disebut ecoprint sedang berkembang saat ini. Seperti penggunaan tinta pada masa lalu, ecoprint memanfaatkan bahan-bahan dari alam untuk mencetak pada berbagai media. Uniknya corak bahan alam yang digunakan akan membentuk suatu lukisan yang bernilai seni.
Ecoprint bisa dibilang sebagai kegiatan mencetak yang ramah lingkungan. Jumiko Jacob, pegiat ecoprint, menerangkan bagaimana tren ini mulai tumbuh di Indonesia.
Saat pandemi, kata Miko, masyarakat kebingungan mencari kegiatan yang bermanfaat di rumah. Ada yang memanfaatkan tanaman di pekarangan untuk mulai melakukan kegiatan ecoprint. "Saat ini kami memiliki Komunitas Ecoprint Indonesia yang sudah tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan beranggotakan lebih dari 3.000 orang,” ujar Miko kepada Forest Digest, 30 Mei 2022.
Kegiatan ecoprint mudah dilakukan. Tanaman di pekarangan diambil bagian daun atau bunga kemudian siapkan media cetak seperti kertas, kain, kulit, atau bahkan tumbler logam. Tanaman di media tersebut digulung, lalu ikat dengan tali dan diberi pewarna alami.
Setelah itu, media di kukus untuk tumbler dan kain atau direbus dengan api kecil untuk kulit. "Tujuan perebusan atau pengukusan itu untuk memperkuat tempelan noda tanaman pada media” Terang Miko.
Tidak hanya ramah lingkungan saat percetakan, tinta organik menggerakkan masyarakat untuk menanam berbagai tanaman di pekarangan rumah. Selain itu, tanaman bekas cetakan juga bisa digunakan untuk pupuk organik tanaman di pekarangan. “Jadi sangat eco friendly," terang Miko. Juga memberikan peluang bisnis rumahan.
Produk yang dihasilkan dari ecoprint cenderung mahal ketimbang produk biasanya. Harga kaos Rp. 100.000-300.000, sepatu kulit Rp 3,5 juta, tas-tas seharga Rp 150.000-500.000. Harga mahal produk berbaha tinta organik dicetak terbatas dan unik. Desainnya berbeda tiap jenis produk.
Menurut Miko, tinta organik bisa menjadi solusi dalam industri mode cepat atau fast fashion yang kini mulai disorot karena dampaknya yang berbahaya bagi lingkungan. "Ecoprint bisa jadi solusi UMKM yang ramah lingkungan," kata dia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :