UANG bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Termasuk komitmen Indonesia terhadap perlindungan lingkungan dan mitigasi iklim. Sejak 1972, atau tepatnya sejak konvensi lingkungan pertama dunia di Stockholm, Indonesia sudah memiliki komitmen lingkungan. Di era krisis iklim, tekad itu melalui mitigasi iklim yang membutuhkan anggaran Rp 28.000 triliun.
Setelah 1972, komitmen lingkungan dilanjutkan dalam pertemuan Rio de Janeiro 1992, yang dikenal sebagai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi. KTT ini menghasilkan tiga konvensi: Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD). Setelah itu, masih ada konvensi terkait chemical, limbah dan lain-lain.
Menurut Direktur Jenderal Perubahan Iklim Laksmi Dhewanthie, semua komitmen Indonesia terkait lingkungan hidup membutuhkan dana yang tak sedikit. Untuk mencapai sustainable development goals (SDG) pada 2030, kata dia, Indonesia membutuhkan Rp 67.083 triliun. "Anggaran ini merupakan angka yang jauh dari kemampuan dan ketersediaan dana yang ada," katanya dalam sebuah webinar Selasa lalu.
Ada selisih kebutuhan pendanaan yang harus dipenuhi dan itu hampir mencapai Rp 14 triliun, kata Laksmi. Ia mengatakan sumber anggaran untuk pemenuhan komitmen lingkungan seharusnya bukan hanya bersumber dari anggaran publik seperti APBN dan APBD, melainkan melalui insentif, penciptaan pasar dan tata kelola administrasi yang baik.
Laksmi menyebutkan ada empat strategi memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah melalui penguatan kebijakan fiskal, meningkatkan daya tarik swasta, pengembangan instrumen yang inovatif dan meningkatkan akses pendanaan global. "Indonesia sudah mengeluarkan green sukuk dan BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup) sudah dalam masa transisi,” katanya. Selain itu konvensi-konvensi lingkungan memiliki mekanisme pembiayaan, “yang bisa kita manfaatkan,” katanya.
Joko Triharyanto, peneliti dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan memperkuat pernyataan Laksmi. Ia menjelaskan bahwa solusi dari komitmen Indonesia terhadap lingkungan tidak selalu dari penambahan anggaran. Menurut dia, kuncinya terletak pada efisiensi dan efektifitas alokasi anggaran, “dengan pendekatan value for money.”
Joko menjelaskan bahwa di masa mendatang, pemerintah tidak akan mengukur dari jumlah biaya yang dialokasikan pada lingkungan tapi nilainya pada lingkungan. “Misalnya satu rupiah untuk perubahan iklim akan diukur berapa reduksi gas rumah kacanya, berapa nilai resiliensinya, berapa kerentanannya,” kata Joko.
Pendanaan untuk memperoleh target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 41% seperti yang tercantum dalam komitmen nasional (NDC) membutuhkan Rp 3.461,31 triliun. Jika dihitung dengan peta jalan mitigasi angka itu naik menjadi Rp 3.778,63 triliun.
Sementara jika semua angka-angka ini dihitung berdasarkan kerangka fiskal perubahan iklim, total anggaran mencapai Rp 28.223,51 triliun. “Ini kebutuhan pendanaan yang besar sekali,” katanya,
Dari kebutuhan-kebutuhan itu, kapasitas pendanaan pemerintah baru tercapai 34 persen per tahun. “Ada selisih 66 persen yang harus diisi oleh pihak non pemerintah untuk ikut mencapai strategi jangka panjang pencapaian nol emisi karbon,” katanya.
Caranya melalui mekanisme pembiayaan publik atau climate budget tagging. Pemerintah menciptakan skema inovasi finansial dengan mengeluarkan green sukuk pada setiap tahun sejak 2018 hingga 2021. “Sukuk pada 2021 malah memiliki tenor 30 tahun, karena memang paradigma yang diubah. Asetnya bergerak, orangnya santai,” kata Joko. “Ada sembilan eligible sektor yang beneran green, menggunakan pendekatan mitigasi, adaptasi dan biodiversity,” kata dia.
Untuk menjaga kepercayaan publik, kata Joko, setiap tahun investor akan mendapatkan laporan dampak (impact report). Jika mereka berinvestasi dengan tenor lima tahun, akan terbit lima laporan dampak dari green sukuk.
Saat ini, kata Joko, pemerintah tengah menyiapkan impact report untuk 2021 yang akan dinilai oleh organisasi internasional. “Kata kuncinya adalah perbaiki tata kelola, transparansi, akuntabilitas harus ditingkatkan agar aktor non pemerintah akan percaya. Koordinasi dan sinergi juga akan lebih baik,” katanya. Adanya impact report dan tata kelola yang baik juga menahan masuknya dana-dana untuk greenwashing.
Climate budget tagging ini juga akan diselaraskan dengan climate geo tagging dengan pengembangan teknologi digital. Tujuannya agar tiap investor mengetahui titik implementasi di level tapak dengan skala yang disepakati. “Sehingga manfaat dan efektivitas terukur,” katanya.
Pendanaan juga akan diperoleh melalui mekanisme pajak karbon yang akan berlaku pada 1 Juli 2022. Pemerintah tengah melakukan finalisasi regulasi dari perdagangan karbon.
Untuk pendanaan dari luar negeri, BPLDH sudah dalam masa transisi. Ke depannya, badan ini yang akan mengurus pembiayaan dan transfer pembiayaan untuk ekologi Indonesia.
Pemerintah optimistis bahwa ke depannya mekanisme pengumpulan anggaran mitigasi iklim untuk komitmen lingkungan akan lebih transparan akuntabel dan berkembang menjadi blended platform. “Pendekatan karbon akan menjadi isu keuangan global,” kata Joko.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :