PERTENGAHAN Februari lalu, Program Lingkungan PBB (UNEP) merilis penelitian bahwa polusi suara adalah faktor lingkungan kedua yang paling merusak kesehatan manusia setelah polusi udara. Polusi suara juga meningkatkan serangan jantung dan diabetes pada orang dewasa. Hasil riset terbaru menunjukkan polusi suara memperlambat perkembangan kognitif anak.
Penelitian ini merupakan studi pertama yang menilai dampak polusi suara atau kebisingan lalu lintas terhadap perkembangan kognitif anak. Penelitian tentang polusi suara yang dirilis di jurnal PLOS Medicine ini melibatkan responden hampir 2.700 anak usia 7 hingga 10 tahun di 38 sekolah di Barcelona, Spanyol.
Anak-anak dalam penelitian ini berada dalam tahap kritis untuk pengembangan memori dan keterampilan memberikan perhatian, dua hal yang penting untuk belajar dan seharusnya berkembang pesat selama masa sekolah dasar. Dua hal ini berkaitan dengan penalaran, matematika, dan pemahaman bahasa.
Anak-anak dalam penelitian ini diuji empat kali dalam setahun. Peneliti juga mengukur tingkat kebisingan di luar sekolah dan di dalam kelas. Peneliti lalu mencatat perhatian, kemampuan untuk fokus pada tugas tertentu, dan memori kerja, yang merupakan kemampuan untuk menyimpan informasi dalam pikiran dan menggunakannya.
Hasil riset ini mengungkap bahwa anak-anak yang terpapar kebisingan lalu lintas memiliki perkembangan memori 23% lebih lambat dan perkembangan kemampuan untuk memfokuskan perhatian 5% lebih lambat dalam setahun.
Penelitian ini mengungkap bahwa kebisingan yang terdengar di dalam kelas, seperti truk yang lewat atau kendaraan yang melaju menjauh dari lampu lalu lintas, memiliki dampak yang lebih besar. Para peneliti menemukan tingkat kebisingan yang lebih tinggi di sekolah lebih merusak daripada di rumah.
Polusi suara perkotaan merupakan ancaman kesehatan global. Laporan UNEP menyebutkan bahwa kebisingan menyebabkan 12.000 kematian dini per tahun di Uni Eropa. Suara yang tidak diinginkan, berkepanjangan, dan tingkat tinggi dari lalu lintas jalan raya, kereta api, atau aktivitas rekreasi mengganggu kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Termasuk di antaranya, gangguan kronis dan gangguan tidur, yang mengakibatkan penyakit jantung parah dan gangguan metabolisme seperti diabetes, gangguan pendengaran, dan kesehatan mental yang lebih buruk.
Anak-anak kecil, kelompok lanjut usia dan masyarakat yang terpinggirkan, yang hidup di di dekat jalan raya, dan kawasan industri dan jauh dari ruang terbuka hijau merupakan yang paling rentan terkena dampak polusi suara. Kebisingan juga menjadi ancaman bagi hewan, mengubah komunikasi dan perilaku berbagai spesies, termasuk burung, serangga, dan amfibi.
Di Desa Bone-bone di Enrekang, Sulawesi Selatan, kepala desa melarang masuk jajanan berpengawet dan membunyikan klakson serta mewajibkan pengantin baru menanam sepuluh pohon. Hasilnya, anak-anak menjadi lebih sehat dan penduduk memahami arti penting investasi kesehatan.
Dalam laporan tersebut, UNEP menyebutkan bahwa alternatif menekan polusi suara adalah dengan membangun infrastruktur kota yang menciptakan soundscapes positif seperti sabuk pohon, dinding hijau, atap hijau, dan lebih banyak ruang hijau di kota. Pembatasan kendaraan termasuk membebaskan jalan dari kendaraan bermotor pada waktu-waktu tertentu bisa menjadi alternatif. Kota 15 menit bisa menjadi alternatif menekan kebisingan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :