DALAM webinar pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit 2022) di Wakatobi, Sulawesi tenggara, pekan lalu, saya ikut memberikan gagasan mengenai reforma agraria di Papua, Papua Barat, dan Aceh. Tiga provinsi dengan status otonomi khusus itu secara umum mempunyai keistimewaan dalam pemerintahannya, sehingga perlu dibahas secara khusus, termasuk pelaksanaan reforma agraria.
Rupanya, para narasumber dalam webinar itu tidak menganggapnya demikian. Dengan kekhususannya, reforma agraria di Papua, Papua Barat, dan Aceh tidak berarti mempunyai kelonggaran lebih dibandingkan provinsi lainnya. Pelaksanaannya juga tidak secepat di tempat lain. Berbeda dibanding perizinan usaha besar yang prosesnya selalu lebih cepat.
Itu semua menunjukkan ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah bukan persoalan teknis belaka. Mungkin orang menyangka ketika ada tanah negara yang luas dan banyak, dan masyarakat miskin membutuhkannya, redistribusi akan mudah dieksekusi. Nyatanya, di Papua dan Papua Barat terbukti tidak seperti yang dibayangkan. Bahkan masyarakat asli Papua yang sering menyampaikan bahwa tanah Papua adalah tanah adat, kenyataannya tidak ada tanah yang secara legal menjadi wilayah adat dan dikuasai secara penuh oleh mereka.
Dari kenyataan itu, artikel ini lebih menyoroti apa yang terjadi di balik kebijakan reforma agraria dan pengakuan wilayah masyarakat adat, terutama untuk wilayah Papua dan Papua Barat.
Pertama, pengaruh waktu terhadap efektivitas kebijakan. Menurut peraturan-perundangan, kriteria pengakuan masyarakat adat tidak hanya berdasarkan identitas orang dan komunitasnya. Menentukan orang asli Papua bisa hanya dengan melihat fisiknya. Tapi, lebih jauh dari itu aturan menuntut kelengkapan lain, seperti norma adat yang masih berlaku dan wilayah yang dikelola lengkap dengan peta skala tertentu. Pada saat norma dan wilayah itu belum diakui secara legal, pemanfaatan dan penggunaannya bisa diusahakan oleh pihak lain, terutama oleh pemegang perizinan berusaha.
Sementara perubahan budaya orang asli Papua akibat pengaruh informasi maupun cara pembangunan yang lebih mengutamakan modal dan teknologi terus berjalan. Naomi Marasian, yang mewakili Perkumpulan Terbatas Untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PPMA) Papua, yang menjadi narasumber webinar itu, mengatakan perjalanan waktu telah mengikis norma maupun wilayah adat Papua. Dengan begitu, kerangka kerja kebijakan pengakuan masyarakat dan wilayah adat semakin tidak mungkin bisa dipenuhi oleh orang asli Papua.
Kedua, reforma agraria di luar hak masyarakat adat. Pengertian umum reforma agraria adalah alokasi atau realokasi tanah dan hutan negara. Maka, reforma agraria seharusnya bukan di wilayah dengan hak masyarakat adat. Perlu ada penegasan bahwa reforma agraria seharusnya tidak bisa dilakukan di wilayah yang belum mendapat kepastian sebagai tanah dan hutan negara. Dengan kata lain, reforma agraria perlu menyelesaikan terlebih dahulu wilayah yang menjadi hak masyarakat adat.
Ketiga, kehadiran negara yang berintegritas. Secara umum mengapa sumber daya alam, khususnya tanah dan hutan perlu diatur oleh negara, karena sumber daya alam ini bersifat sosial dan cenderung menjadi barang langka seiring perkembangan kebutuhan akibat pertambahan penduduk. Untuk itu tata kelola yang baik atas penggunaannya, termasuk dan terutama dalam perizinan pemanfaatannya, menjadi tonggak penting yang menopang keadilan pemanfaatan dan penguasaannya.
Dengan melihat semakin besarnya pengaruh swasta, terutama koalisi politik usaha-usaha besar atau oligarki terhadap berbagai keputusan pemerintah pusat dan daerah, kehadiran negara harus diwujudkan secara fisik atau dalam pertimbangan transaksi ketika menetapkan hak atas tanah. Misalnya, dalam penetapan tata ruang tidak lagi cukup hanya dengan menetapkan struktur dan fungsi ruang. Tata ruang seharusnya memiliki cara alokasi ruang hidup bagi masyarakat adat dan lokal demi keadilan.
Sebagai kebijakan afirmatif, khususnya di Papua dan Papua Barat, hal tersebut secara teknis sangat mungkin, sepanjang tidak melanggar norma dalam penetapan fungsi ruang—terutama untuk kawasan budi daya dan kawasan lindung. Kebijakan afirmatif itu juga sejalan dengan pasal 2 Undang-Undang Penataan Ruang yang mempunyai asas kepastian hukum dan keadilan.
Dalam pertimbangan transaksi, misalnya, peemrintah bisa mencegah transaksi langsung antara pengusaha dengan masyarakat adat atau dengan perwakilan masyarakat adat yang bersedia melakukan kompromi dengan pengusaha mengenai lokasi perizinan berusaha. Transaksi seperti itu tidak seimbang, baik secara ekonomi maupun politik. Transaksi seperti itu sering kali memberi hasil yang tidak tuntas dan berakhir dengan konflik maupun ketidakadilan manfaat sumber daya alam. Ini tentu bertentangan dengan tujuan kebijakan reforma agraria.
Anthropology of Policy: Critical Perspective on Governance and Power (1997), yang disunting Cris Shore dan Susan Wright, menyebut bahwa kebijakan publik bersifat abstrak dan bukan hanya yang tertuang dalam dokumen peraturan-perundangan. Kebijakan ditemukan dalam bahasa, retorika maupun konsep dalam pidato-pidato pejabat pemerintah, atau manifesto politik.
Kebijakan berada di dalam mekanisme kerja lembaga-lembaga yang sedang membuat keputusan. Kebijakan bisa pula diketahui dari interaksi masyarakat dengan pihak lain secara langsung untuk menyelesaikan urusan-urusan yang mereka perlukan. Maka, kebijakan adalah realitas yang dihadapi masyarakat dalam menentukan arah keputusan sehari-hari yang dibuatnya.
Dengan batasan seperti itu, apa yang bisa kita lihat di lapangan itu adalah kebijakan yang sesungguhnya. Termasuk reforma agraria dan legalitas wilayah adat yang lambat berjalan itu.
Dalam hal ini, kita tidak bisa memisahkan teks kebijakan dari praktiknya. Tetapi praktik itu sering kali tersembunyi ketika pemerintah dan pemerintah daerah membuat asumsi-asumsi dan model kondisi keberhasilan berdasarkan administrasi. Asumsi dan model ini sering kali jauh berbeda dari kondisi lapangan. Untuk itu, ketidakmampuan masyarakat merespons kebijakan secara positif—akibat hambatan informasi, pengetahuan, maupun transaksi—perlu menjadi pertimbangan.
Dalam kebijakan reforma agraria maupun legalitas wilayah adat tampak ada defisit. Di Papua dan Papua Barat, hak-hak legal atas tanah bagi masyarakat lebih kecil daripada berkurangnya hak-hak atas tanah akibat berbagai sebab. Karena hak-hak atas tanah itu belum diakui, mereka seperti terabaikan.
Untuk itu reforma agraria harus memastikan tidak ada penggunaan dan pemanfaatan tanah, termasuk oleh masyarakat adat, secara ilegal. Sebab kebijakan seharusnya bertujuan mewujudkan legalitas. Pernyataan yang biasa terdengar adalah “kebijakan baik, implementasi buruk” menjadi keliru (conflict in term). Sebab, kebijakan yang baik seharusnya membuat tujuannya tercapai.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :