ORGANISASI Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) menyatakan ternak Indonesia bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) tanpa vaksinasi pada 1990. Namun, awal April 2022, PMK mulai terdeteksi menginfeksi pada hewan ternak di Indonesia, yang diawali PMK pada kambing impor dari Malaysia di Medan.
Kini PMK telah muncul di 17 provinsi. Diperkirakan sebanyak 40.000 hewan ternak terpapar penyakit ini. Menjelang Hari Raya Idul Adha pada Juli, PMK menjadi momok bagi peternak karena bisa menggerus permintaan terhadap daging sapi atau kambing. Dari Jawa Timur, penyakit ini sudah terdeteksi menginfeksi lima sapi di Tangerang, Banten, pekan lalu.
PMK merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus pada hewan berkuku genap yang ditakuti para petani. Penyakit ini bisa menyebar cepat melalui udara. Pada masa inkubasi 1-2 pekan, gejala klinis yang menunjukkan sapi, domba, kambing, babi,terpapar penyakit ini seperti demam tinggi, sering kali luput dari perhatian. Pada 2001, Inggris terpapar wabah PMK dan dalam 14 hari ternak di seluruh wilayahnya terinfeksi.
PMK bisa menggoyang ekonomi suatu negara dengan mudah. Sebuah studi pada 2018 oleh Kementerian Pertanian menunjukkan jika PMK menjadi wabah nasional, yang akan dirugikan bukan hanya petani atau peternak, tetapi ada potensi kerugian nasional mencapai Rp 9,9 triliun.
Angka itu termasuk dampak finansial di tingkat nasional sebesar Rp 901,4 miliar, dampak pada ekspor pucuk tebu Rp 622,9 juta, dampak pada ekspor kulit sebesar 880,8 miliar, dampak pada ekspor daging dan daging yang diproses sebesar 43,6 miliar, dampak pada harga daging domestik sebesar Rp 942,5 juta dan dampak pada industri pariwisata sebesar Rp 6,5 triliun.
Peneliti ekonomi-politik dan Indonesianis dari Australia, Jeremy Mulholland, mengatakan bahwa wabah PMK yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari kerentanan keamanan hayati (biosecurity) terhadap ternak yang terjadi sejak 2011. “Ada peningkatan kerentanan terhadap ancaman biosecurity, terutama akibat konflik elite di Indonesia,” kata Jeremy, yang lebih 20 tahun meneliti tata kelola ternak dan daging dan fasih bahasa Indonesia, ketika dihubungi pekan lalu.
Seperti ditulisnya di majalah Tempo, Jeremy menjelaskan konflik antara Menteri Pertanian Suswono (2009-2014) dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Prabowo Respatiyo Caturroso pada 2011-2013 terkait impor sapi dari negara-negara yang rentan keamanan hayatinya menjadi awal mula wabah ini. Menurut dia, Suswono mengesampingkan peran Prabowo yang berlatar belakang dokter hewan. “Prabowo mempertahankan maximum biosecurity yang memihak impor sapi bakalan dan daging sapi dari negara-negara yang bebas PMK,” kata Jeremy.
OIE memiliki daftar negara-negara bebas PMK tanpa vaksinasi, negara-negara bebas PMK dengan vaksinasi, dan zona-zona dalam suatu negara yang bebas PMK. Indonesia bebas PMK sejak 1986, dan masuk dalam daftar negara-negara bebas PMK tanpa vaksinasi pada 1990. Pada awal 1980-an, pemerintah mendirikan Laboratorium Besar Penanganan Wabah PMK yang hasilnya dinikmati sepuluh tahun kemudian.
Peran dokter hewan yang dikesampingkan ini, kata Jeremy, juga tampak dari struktur organisasi Kementerian Pertanian. Setelah Reformasi 1998, satu-satunya Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berlatar belakang veterinarian hanya Prabowo. Sisanya berlatar belakang peternakan. Menurut Jeremy, penunjukan pejabat yang berwenang mengurus peternakan ini berpengaruh terhadap tata kelola hewan dan daging.
Mereka yang berlatar belakang dokter hewan akan lebih menekankan perlunya keamanan hayati. Sementara, pejabat yang berlatar belakang ilmu peternakan, akan menekankan pada produksi. Keinginan Indonesia segera swasembada daging membuat rezim pemerintahan mengabaikan soal kesehatan hewan.
Konflik para pejabat di Kementerian Pertanian tak mereda setelah pergantian rezim pemerintahan. Amran Sulaiman (2014-2019), penerus Suswono, mengubah UU 18/2009 yang mengatur asal daging impor dari negara bebas PMK (country-based) menjadi UU 41/2014 menjadi negara zonasi PMK (zone-based).
Zona bebas PMK tidak selalu menjamin keamanan hewan ternak. Hewan atau daging dari negara-negara yang memiliki satu atau dua zona bebas PMK, seperti Malaysia atau Brazil, tetap berbahaya. Sebab, di negara-negara ini, PMK merajalela. Meski disebut "zona bebas PMK", wilayah tersebut rentan terpapar PMK.
Jika diukur dari pertimbangan harga, memang ada potensi berhemat jika impor ternak atau daging memakai zonasi. Harga daging impor dari zona-zona bebas PMK lebih murah ketimbang impor dari negara-negara bebas PMK, namun kerentanan keamanan hayatinya jadi naik.
Peraturan Pemerintah Nomor 4/2016, turunan UU 18/2014, memungkinkan Indonesia mengimpor produk ternak dari negara yang tidak masuk ke dalam daftar negara bebas PMK, seperti India. “Sejak Juli 2016, importasi daging sapi dari India menjadi legal dan ini meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap kemunculan PMK lagi,” kata Jeremy, CEO Investindo International Pty Ltd, Australia.
Pembukaan keran-keran impor daging dari negara-negara yang tidak bebas PMK juga menjauhkan Indonesia dari swasembada daging. “Kebijakan publik seharusnya berfokus pada daya beli masyarakat,” kata Jeremy.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim wabah PMK sudah terkendali. Dia mengatakan, seperti dikutip CNBC, Kementerian Pertanian telah melakukan pengetatan lalu lintas peternakan. "Tapi faktanya banyak ternak masuk diam-diam tanpa melewati checkpoint PMK, sehingga muncul kasus di Tangerang,” kata Jeremy.
Dalam rilis 25 Mei 2022, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasrullah mengatakan hingga 22 Mei, ternak yang terinfeksi PMK sebanyak 20.723 ekor di 16 provinsi, dari 5,4 juta ekor hewan ternak di wilayah tersebut.
Pada daerah tertentu, kata Nasrullah, 33-50% ternakyang terjangkit PMK berhasil diobati. "Strategi zonasi atau melokalisasi kasus hanya pada kandang hewan yang sakit efektif membantu PMK tidak meluas," katanya.
Menteri Syahrul juga menerbitkan aturan pengetatan lalu lintas dan pelaksanaan qurban melalui Surat Edaran Nomor 2 dan 3 Tahun 2022. Akan tetapi, menurut Jeremy, kedua surat itu tidak efektif tanpa vaksinasi PMK untuk seluruh ternak. Saat ini banyak peternak cemas terkena panic selling atau menjual hewan ternaknya dalam harga berapa pun.
Menurut Jeremy, langkah yang harus dilakukan Kementerian Pertanian saat ini seharusnya menutup keran impor dari negara zona bebas PMK, termasuk impor dari India yang tidak bebas PMK. Kemudian melakukan perbaikan kapasitas pembuatan vaksin. “Virus harus diisolasi untuk menentukan tipe virus dan vaksinasi yang diperlukan. Beda virus, beda vaksin yang dibutuhkan,” katanya.
Setelah itu vaksinasi massal pada hewan sambil mengisolasi hewan-hewan ternak yang sudah terpapar dan mengobatinya. Jika diperlukan, bisa juga dilakukan stamping out, test and slaughter alias memusnahkan ternak. Namun, pemusnahan ternak yang terjangkit PMK harus dibarengi dengan subsidi kepada petani.
Meskipun pejabat dan kalangan akademisi menyebutkan masih aman mengonsumsi daging hewan terpapar PMK selama dimasak matang, Jeremy mengatakan daging hewan ruminansia (pemamah biak tumbuhan) yang sudah terpapar PMK tidak cocok dimakan. “Protein dalam daging sudah habis dimakan virus,” katanya.
Menurut dia, kampanye terkait keamanan mengonsumsi hewan terpapar PMK asal dimasak matang justru membuat pemberantasan wabah PMK tidak menjadi prioritas pemerintah. Padahal kerugian ekonomi di tingkat peternak dan petani terlalu besar.
Jeremy mengatakan keterlambatan pemerintah dan Kementerian Pertanian mencegah wabah PMK berpotensi meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap daging impor, yang kian menjauhkan kehendak swasembada daging.
Koreksi 10 Juni 2022:
Perbaikan pada alinea yang menjelaskan masa inkubasi virus PMK.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :