KEJAYAAN Nusantara terkenal karena perdagangan rempah yang disebut "emas hijau dari Hindia". Selain andil rempah-rempah, ternyata kejayaan Nusantara berasal dari peradaban maritim yang kuat. Salah satu peradaban maritim Nusantara ditopang oleh ekosistem bakau atau mangrove.
Wilayah Nusantara yang merupakan perpaduan dataran Sunda dan Sahul berupa wilayah kepulauan yang banyak ditumbuhi mangrove saat zaman es ketiga telah berakhir. Bangsa yang menghuni wilayah tersebut adalah bangsa Austronesia dan Melanesia. Bangsa ini memiliki budaya amfibi atau gemar hidup di dekat air dan pesisir. Ekosistem mangrove menjadi penopang kebudayaan bangsa ini karena suhu yang hangat dan logistik yang terjamin untuk keperluan hidup.
Ary Prihardhyanto, etnobotanis dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bangsa Austronesia adalah bangsa tertua yang mengenal bakau. Ary menunjukkan bukti peradaban itu lewat riset lukisan yang berusia 45.000 tahun Sebelum Masehi di dinding Gua Leang Tedonge, Maros, Sulawesi Selatan.
Lukisan itu menggambarkan banyak hewan seperti babi, kerbau (termasuk anoa), serta perahu bercadik. Lukisan itu kemungkinan digambar oleh manusia yang berlayar dari pulau Kontinental (pulau yang terpecah dari daratan yang menyatu) menuju pulau Oceanic (pulau yang tidak terpecah sehingga tidak pernah berhubungan dengan daratan manapun).
“Tidak mungkin di pulau Oceanic pada saat itu ada kehidupan karena terisolasi dari daratan manapun, artinya hewan-hewan itu ada yang membawa” ujar Ary, dalam webinar 3 Juni 2022.
Riset lanjutan Ary menemukan bukti lukisan yang berusia 50-52 ribu tahun Sebelum Masehi di Gua Sangkulirang, Mangkalihat, Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang menerangkan ada pergerakan manusia dari pulau Kontinental menuju pulau Oceanic.
Menurut Ary, bukti arkeologis itu menunjukkan awal mula terjadi pelayaran menggunakan perahu bercadik yang merupakan penemuan terbesar pada masa itu. “Tanpa adanya kepastian ekosistem mangrove di pulau lain, leluhur kita tidak akan berani berlayar,” kata Ary.
Hipotesis ini membantah temuan yang menyatakan leluhur kita berlaut dengan hanya coba-coba atau trial and error. Menurut Ary, mereka memiliki pengetahuan kemaritiman yang mumpuni seperti pembuatan dan daya guna perahu bercadik, membaca arah mata angin, serta mengenal ekosistem mangrove. “Karena daerah mangrove adalah yang membuat mereka hidup,” kata Ary.
Pengenalan ekosistem mangrove membuat leluhur kita bisa berlayar cukup jauh dari bangsa-bangsa lain pada umumnya. Dengan cara mengikuti ekosistem mangrove di pinggir pantai, mereka bisa berlayar sampai ke Sri Lanka, Mesir, bahkan Amerika Latin. “Buktinya temuan komoditas yang hanya ada di Nusantara yaitu cengkeh di dataran tersebut jauh sebelum penemuan jalur rempah,” kata dia.
Sriwijaya dan Majapahit, dua kerajaan besar Nusantara, memiliki wilayah kekuasaan yang sama persis dengan wilayah persebaran mangrove jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Dari temuan ini, kata Ary, sangat layak bangsa Nusantara disebut dengan bangsa bakau atau bangsa Rhizophora karena peradabannya tidak lepas dari ekosistem mangrove. “Peradaban kita dimulai dari mangrove,” katanya.
Menurut Ari, mangrove adalah simbol kejayaan bangsa Nusantara pada masa lalu. Menjaga mangrove artinya menjaga peradaban leluhur dari kepunahan. Maka dari itu, kata Ary, kajian etnobiologi mangrove Indonesia harus dikembangkan lagi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :