Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Juni 2022

Borobudur Bertahan dari Gempuran Iklim Selama 1.000 tahun

Dulu Candi Borobudur dikelilingi danau, kini disesaki pemukiman. Di bawah ancaman perubahan iklim, gunung meletus, dan aktivitas manusia, berapa lama Borobudur bisa bertahan

Foto Borobudur diambil pada tahun 1873 (Foto: Isidore Van Kinsbergen | Rijksmuseum)

BERDIRI pada abad ke-8 Masehi, Candi Borobudur telah mengalami terpaan cuaca, menghadapi perubahan iklim dan alam selama 1.200 tahun. Dalam History of Java, Sir Thomas Stamford Raffles menulis 2 halaman tentang candi Buddha di Magelang, Jawa Tengah, itu.

Gubernur Hindia Belanda 1811-1816 itu mengawali pembahasan Borobudur dengan kalimat ini: " Di distrik Bóro, di provinsi Kedú, dan di dekat pertemuan sungai Elo dan Prága, yang memahkotai sebuah bukit kecil, berdiri candi Bóro Bódo…” Raffles menamai struktur batu berukuran 123 x 123 meter itu dengan nama Borobudur. Berasal dari nama kawasan terdekat Boro dan dari kata Bodo yang bermakna kuno.

Penemuan ini berasal dari cerita tentang sebuah candi besar yang terletak jauh di dalam hutan yang ia dengar pada 1814 saat melawat ke Semarang. Tugas sebagai Gubernur Jenderal yang begitu padat membuat Raffles mengutus H.C Cornelius, seorang Belanda, untuk menyelidiki bangunan besar ini.

Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Namun, setelah dua bulan, Cornelius berhenti membersihkan lorong karena ancaman longsor. Cornelius menggambar sketsa candi tersebut dan melaporkannya kepada Raffles. Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali candi ini.

Ketua Tim Cagar Budaya Nasional, Junus Satrio Atmodjo mengatakan kawasan Candi Borobudur berdiri merupakan bekas lautan. “Beberapa desa masih memiliki sumur-sumur yang di dasarnya memiliki endapan garam,” kata Junus ketika dihubungi, Selasa malam.

Berdasarkan jenis aksara yang tertulis pada relief Karmawibhangga yang tertutup di sudut tenggara kaki candi, Borobudur diperkirakan dibangun pada masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang.

Menurut Junus, pembangunan Borobudur dilakukan dalam tiga tahap. Area sekitarnya ketika awal pembangunan merupakan danau. Peneliti yang mengebor dataran kawasan Borobudur yang lebih rendah menemukan bahwa jenis tanahnya termasuk tanah lempung. “Ada jenis tanaman akuatik seperti teratai, juga serbuk sari secara masif,” kata Junus.

Tidak diketahui kapan Borobudur ditinggalkan. Namun menurut penelitian, pada 928-1006, Raja Mpu Sendok memindahkan ibu kota Kerajaan Medang ke Jawa Timur setelah letusan gunung Merapi. Candi pun telantar, terkubur berabad-abad hingga menyerupai bukit. Keberadaan candi ini terungkap setelah penggalian Cornelius atas perintah Raffles itu.

Pada masa ini danau sudah berubah menjadi rawa. “Tanah yang menyumbat kawasan ini terbuka sehingga air turun ke Kali Progo,” kata Junus. Rawa-rawa itu kemudian diolah menjadi sawah. Setelah Raffles angkat kaki dari Indonesia, pemerintah Hindia Belanda meneruskan eksavasi Cornelius. Pada 1835, seluruh bangunan telah tergali dan terlihat.

Ketika Indonesia merdeka, ada beberapa peristiwa penting yang menguji ketahanan struktur Candi Borobudur. Pada 21 Januari 1985, Borobudur dibom. Sembilan stupa rusak parah, namun bisa diperbaiki. Lalu ada gempa di pesisir selatan Jawa tengah berkekuatan 6,2 magnitudo. Borobudur tetap utuh.

Barangkali letusan Gunung Merapi pada 2010 merupakan ujian terbesar pada zaman modern bagi struktur Borobudur. Abu vulkanik panas dari Merapi tersapu angin dan menyelimuti candi. "Memang tebalnya hanya 2,5 sentimeter, tapi ini memberi tekanan pada pori-pori batu,” kata Junus yang pada saat itu menjabat Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Butuh waktu 6 bulan lamanya untuk mengangkat abu dari permukaan batu.

Data klimatologi mencatat suhu udara maksimum di Borobudur mencapai 370 Celsius pada dekade 1990-an. Suhu rata-rata pada dekade tersebut berkisar 24,9-26,4C. Saat ini suhu rata-rata siang di sekitar Candi Borobudur mencapai 32-35C. “Tertinggi pernah mencapai 38C,” kata Junus. Pemanasan global bisa melepaskan partikel-partikel batu dari candi yang menyebabkan pelapukan dan retakan. 

Perubahan kawasan sekitar Borobudur yang berganti dari sawah menjadi permukiman juga berkontribusi pada pemanasan dalam skala micro-climate. Bukti pemanasan global merusak relief Borobudur bisa dilihat pada relief Karmawibhangga yang tersembunyi di kaki candi. “Relief yang tertutup di kaki candi lebih bagus kondisinya ketimbang relief yang terpahat di dinding luar,” kata Junus.

Junus menunjukkan bukti lain. Jika membandingkan foto Candi Borobudur yang diambil fotografer Belanda, Isidore Van Kinsbergen, pada 1872 terlihat garis-garis relief yang terpahat semakin menipis dibandingkan keadaan sekarang.

Foto Borobudur yang diambil pada 1873 (Isidore Van Kinsbergen | Rijksmuseum)

Bukan hanya dialami Borobudur, The Guardian pada April lalu menyebutkan bahwa situs warisan dunia di Iraq yang kerap disebut tempat lahirnya peradaban (cradle of civilizations), terancam hilang akibat pemanasan global.

Wilayah Mesopotamia yang diapit sungai Eufrat dan Tigris yang membentuk bulan sabit ini memiliki tanah dan akuifer yang banyak mengandung garam. Akibat proses pertanian yang tidak berkelanjutan dan pemanasan global, akuifer mulai mengering dan menghasilkan endapan garam yang tinggi.

Garam bermanfaat bagi arkeologi. Mineral ini mempertahankan kondisi mumi dalam tingkat paripurna. Tapi garam juga bisa begitu merusak. “Garam bisa menghancurkan situs, menghancurkan batu bata, menghancurkan tablet, menghancurkan segalanya,” kata geoarkeolog Irak, Jaafar Jotheri.

Semua benda yang ada di dunia ini pasti ada usianya, yang bisa kita lakukan adalah memperlambat proses kerusakannya. Perubahan iklim mempercepat proses itu, termasuk pada batu-batu Candi Borobudur.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain