Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Juni 2022

Peran Mangrove dan Gambut dalam FOLU Net Sink

Ekosistem mangrove dan gambut menyimpan emisi karbon cukup besar dibanding dengan ekosistem terestrial. Penentu target FOLU net sink.

Nelayan Kota Tarakan saat menanam mangrove di pesisir pantai (Foto: Swary Utami Dewi)

SEKTOR kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) melepas emisi rata-rata 917 juta ton setara CO2 setahun, sementara serapannya hanya 410 juta ton. Untuk mencapai FOLU Net Sink atau serapan emisi lebih banyak ketimbang pelepasannya, ekosistem mangrove dan gambut memegang peranan sangat penting. Dua ekosistem ini memiliki kemampuan menyerap emisi karbon lebih besar dibanding ekosistem hutan daratan.

Indonesia memiliki lahan mangrove sebesar 3,36 juta hektare atau 20% dari luas mangrove dunia. Dari luas tersebut, kondisi hutan mangrove Indonesia masih didominasi oleh mangrove lebat (dengan tutupan tajuk >70%) seluas 3,1 juta hektare. Sementara sisanya, yaitu mangrove tutupan sedang (tutupan tajuk 30 - 70%) seluas 188 ribu hektare dan mangrove tutupan jarang (<30%) seluas 54 ribu hektare.

Konstruksi Kayu

Ancaman terhadap ekosistem mangrove adalah konversi menjadi tambak udang dan budidaya pertanian. Konversi mangrove menjadi tambak udang pada periode 2006-2020 rata-rata sebesar 4.800 hektare per tahun. Sementara untuk konversi budidaya pertanian, mangrove yang terpakai rata-ratanya seluas 4.200 hektare.

Rizaldi Boer, pakar manajemen risiko iklim, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim IPB University, mengatakan potensi emisi yang dihasilkan dari konversi mangrove menjadi tambak mencapai 7,3 juta ton setara CO2. Jika terus seperti itu, kata Rizal, sektor mangrove akan menyumbang emisi cukup besar sehingga target FOLU Net Sink 2030 bisa terganjal. “Lahan mangrove harus digunakan secara berkelanjutan memakai konsep silvofishery," katanya dalam Kuliah Umum Badan Restorasi Gambut dan Mangrove pada 10 Juni 2022.

Silvofishery atau wanamina merupakan kombinasi pengelolaan lahan hutan dengan budidaya perikanan. Menurut Rizaldi, rasio lahan mangrove pada sistem wanamina berkorelasi positif dengan kandungan nutrisi yang terkandung dalam serasah ekosistem ini. Artinya dalam tutupan mangrove yang rimbun, nutrisi yang berada di air akan lebih banyak. 

Jumlah nutrisi dalam serasah mangrove akan mempercepat pertumbuhan plankton sehingga ikan atau udang akan mendapatkan pakan secara alamiah. “Manfaatnya besar untuk ekonomi masyarakat dan sejalan dengan memperbaiki lingkungan,” kata Rizal.

Selain mangrove, ekosistem lain yang menyerap emisi dalam jumlah banyak adalah rawa gambut. Gambut adalah ekosistem lahan basah yang terbentuk dari timbunan material organik berupa sisa-sisa pohon, rumput, lumut, dan jasad hewan-hewan yang membusuh di dalam tanah. Keragaman organisme dalam gambut membuat ekosistem ini menyerap emisi dalam jumlah banyak.

Lahan gambut Indonesia lebih dari 22 juta hektare, terluas kedua di dunia setelah Brasil. Namun, dalam data terbaru, ada revisi memakai peta resolusi tinggi sehingga luas lahan gambut diperkirakan 13,43 juta hektare.

Dari luas tersebut, hanya 45% atau 6,1 juta hektare yang masih memiliki tutupan hutan alam. Sisanya sebanyak 4 juta hektare tidak produktif dan 2 juta hektare sudah dikonversi menjadi lahan budidaya.

Ancaman terhadap ekosistem gambut adalah kebakaran dan dekomposisi tanah. Ekosistem gambut menjadi penyumbang emisi terbesar di sektor FOLU, lebih dari 60%. Pengeringan gambut dalam kegiatan budidaya membuat ekosistem ini rentan kebakaran dan terjadi dekomposisi bahan organik yang akan mengeluarkan CO2 dalam prosesnya.

Itu kenapa restorasi lahan gambut mendapat porsi terbesar dalam target penurunan emisi nasional dalam dokumen NDC menuju net sink. Sumber emisi gambut berasal dari kebakaran sebesar 36%, sementara dekomposisi lahan mencapai 18%. Untuk mencegah emisi gambut terlepas ke atmosfer, lahan gambut yang harus direstorasi seluas 1,3 juta hektare. “Jika ingin mencapai FOLU net sink, restorasinya harus dua kali lipat dari target NDC,” kata Rizaldi.

Upaya merestorasi gambut memakai dengan tiga cara: pembasahan, revegetasi, lalu revitalisasi. Menurut Rizaldi, tiga cara itu termaktub dalam sistem paludikultur yang merupakan bagian dari upaya revegetasi mengelola ekosistem gambut yang berkelanjutan.

Sistem paludikultur adalah sistem agroforestri yang menyesuaikan kondisi lingkungan gambut yang selalu basah dengan membudidayakan tanaman. Karena paludikultur menuntut tanaman yang cocok dengan gambut, pemilihan jenis tanaman budidaya mesti jadi pertimbangan agar tak malah merusak ekosistem ini.

Pertimbangan dalam pemilihan komoditas meliputi tanaman ekonomi tinggi, tanaman cepat menghasilkan, kayu, komoditas ramah lingkungan, komoditas yang mudah pemeliharaannya, dan kemudahan akses benih. “Hal ini harus didukung dengan memberikan akses kredit dan jaminan pasar yang merupakan harapan petani gambut,” kata Rizaldi.

Menurut dia, 95% petani di sekitar gambut paham sistem paludikultur dan menerimanya. Dukungan fasilitator juga menjadi pertimbangan penting masyarakat mau melakukan budidaya dengan paludikultur.

Penerapan pengelolaan gambut dan mangrove yang berkelanjutan menjadi sangat penting dalam meningkatkan ekonomi masyarakat serta menurunkan emisi gas rumah kaca, seperti cita-cita dalam FOLU net sink. “Sehingga keberhasilan ini akan berdampak pada penurunan emisi dan menciptakan resiliensi iklim,” tutup Rizal.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain