Kabar Baru| 12 Juni 2022
Tanggung Jawab Mutlak dalam Kejahatan Lingkungan
PEMAKAIAN konsep strict liability dalam kejahatan lingkungan telah lama menjadi perbincangan para ahli hukum dan aktivis lingkungan. Sanksi pidana dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang belum mengadopsi konsep ini tak membuat para penjahat lingkungan kapok.
Pemelihara satwa liar yang dilindungi, perdagangan, perburuan, hingga operasi perusahaan yang merusak lingkungan terus jalan, bahkan oleh pejabat publik. Kasus terbaru adalah penetapan tersangka Bupati Langkat (non aktif) Terbit Rencana Perangin-angin. Penyidik Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera menetapkannya sebagai tersangka pemilik satwa liar dilindungi pada 8 Juni 2022.
Barang bukti sebagai dasar penetapan tersangka berupa seekor elang brontok fase terang, dua ekor burung beo, dua jalak Bali, dan seekor monyet hitam Sulawesi. Semua satwa ini masuk Pusat Penyelamatan Satwa Sibolangit untuk rehabilitasi. Sementara satu individu orangutan Sumatera masuk Pusat Karantian Orangutan Sumatera.
Penyidikan kepemilikan satwa liar yang dilindungi di rumah Terbit Rencana Perangin-angin dimulai pada 25 Januari 2022. Waktu itu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menggeledah rumah Terbit di Desa Raja Tengah Kecamatan Kuala. Penyidik KPK sedang menelisik dugaan suap pekerjaan infrastruktur di Langkat pada 2020 hingga 2022.
Dalam penggeledahan, penyidik KPK juga menemukan kerangkeng manusia. Migrant Care, organisasi advokasi buruh, menyebutnya sebagai “perbudakan modern”. Para penghuni kerangkeng adalah buruh perkebunan kelapa sawit milik Terbit Rencana Perangin-angin. Terbit menyatakan sel itu ia buat untuk pembinaan pecandu narkoba dalam sepuluh tahun terakhir.
Kembali ke penyelidikan kepemilikan satwa liar dilindungi, penyidik KPK lalau mengizinkan penyidik Balai Penegakan Hukum Lingkungan turut memeriksa rumah Terbit. Dalam penggeledahan, para petugas menemukan satwa-satwa tersebut. Penanggung jawab satwa tak bisa menunjukkan dokumen kepemilikan satwa liar yang dilindungi.
Atas dasar kepemilikan satwa secara ilegal tersebut, petugas menyita satwa dan memasukkannya ke pusat karantina. Dari situ, penyidikan berlanjut hingga menetapkan Terbit Rencana sebagai tersangka.
Penyidik menjerat Terbit Rencana pasal 21 ayat (2) huruf a juncto pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.
Telah banyak dikritik UU Konservasi ketinggalan dan pijakan paradigmanya lemah. Para ahli hukum dan aktivis lingkungan mengajukan klausul agar dua pasal tersebut memasukkan skema strict liability atau tanggung jawab mutlak. Dengan hanya fokus ke sanksi pidana, dengan nilai yang kecil, kejahatan terhadap satwa liar tak memberikan dampak pencegahan.
Dalam konsep strict liability, penggugat tak harus membuktikan tergugat bersalah atas perbuatannya dalam merusak lingkungan. Konsep ini telah diadopsi dalam UU Perlindungan Lingkungan Hidup. Kementerian LHK pernah memakainya ketika menggugat perusahaan kelapa sawit yang kegiatannya menyebabkan kebakaran hutan pada 2017.
UU Konservasi tak berangkat dari paradigma kesejahteraan hewan sehingga aturan masih membagi hewan yang boleh ditangkarkan dan terlarang dipelihara. Satwa liar yang boleh dipelihara bahkan diizinkan untuk kesenangan. Ini paradigma lama yang menganggap hewan sebagai mahluk piaraan. Padahal, hanya hewan tertentu yang secara alamiah, seperti kucing dan anjing, yang terdomestikasi.
Dengan menyediakan pemeliharaan satwa liar untuk kesenangan, tak ada pendidikan dan pengetahuan kepada publik bahwa tempat terbaik satwa liar adalah alam liar dengan kehidupan yang liar. Sebab, begitulah ekosistem terbangun dan hukum alam bekerja. Rantai makanan menciptakan kontrol alamiah terhadap mereka. Ledakan populasi pada satu spesies menunjukkan ada yang salah dalam rantai makanan tersebut.
Kekacauan rantai makanan adalah tanda keanekaragaman hayati terganggu. Gangguan pada keragaman satwa akan berakibat fatal terhadap planet ini. Ledakan populasi babi, misalnya, yang menjadi hama bagi perkebunan untuk pangan manusia akibat pemangsanya berkurang, yakni harimau. Harimau punah karena kehilangan habitat, yakni hutan belantara, karena berubah menjadi jalan raya, permukiman, pertanian, perkebunan.
Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang menganalisis UU Konservasi pada 2019, juga menganjurkan pasal 21 dan 40 memakai asas strict liability. Alasannya, dengan fokus pada pidana, dampak lanjutan dari sebuah kejahatan tak dihitung sebagai kejahatan hanya karena tak ada buktinya.
PBB sedang membahas pemakaian ekosida sebagai kejahatan internasional setara genosida dan agresi. Karena ekosida adalah penghancuran lingkungan berdasarkan pengetahuan, pemilikan satwa liar secara ilegal bisa tergolong strict liability. Bagi pejabat publik seperti Terbit Rencana Perangin-angin sulit untuk tidak percaya ia tak paham pemeliharaan satwa liar secara ilegal tak merugikan lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :