SEJAK awal tahun ini, muncul beberapa laporan penampakan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di desa-desa Sumatera Utara. Laporan konflik harimau-manusia juga meningkat. Para ahli konservasi menduga penampakan harimau terjadi karena babi hutan yang menjadi pakan mereka habis.
Akibatnya, harimua turun gunung ke permukiman. Mereka memangsa ternak penduduk desa di sekitar hutan.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, Irzal Azhar, mengatakan penampakan harimau paling sering terjadi di Langkat karena kabupaten ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Balai BKSDA kini sedang bekerja sama dengan Fakultas Peternakan Universitas Sumatera Utara membuat peternakan rusa sebagai alternatif pakan harimau.
Hariyo Wibisono, Direktur Sintas Indonesia, organisasi peneliti harimua, menduga virus kolera babi (I) dan demam babi Afrika (African Swine Fever) yang mewabah pada babi ternak di Simalungun, Sumatera Utara tahun lalu, menular ke babi hutan liar. Virus ini bisa menyebabkan babi mati mendadak. Akibatnya, populasi babi yang menjadi pakan harimau Sumatera berkurang.
Saat ini, kata Irzal, sudah ada empat ekor rusa yang diternakkan untuk nanti dilepaskan di hutan Leuser tahun depan. Dalam setahun, rusa bisa melahirkan dua kali dengan anak satu ekor setiap kali melahirkan.
Irzal juga dia akan berkoordinasi dengan Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) dan meminta pemburu babi membatasi aktivitasnya.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sumatera Utara memiliki luas wilayah 7,3 juta hektare, 3,7 juta hektare merupakan hutan. Kawasan hutan lindung dan konservasi hanya sekitar 40% dari seluruh luas hutan.
Saat ini, kata Irzal, tidak ada kuota atau pembatasan jumlah babi liar yang bisa diburu oleh manusia. Babi hutan kerap merusak ladang dan kebun, sehingga babi hutan diangggap sebagai hama. Padahal, babi hutan memiliki fungsi lain dalam ekosistem sebagai pakan alami predator di atasnya yaitu, harimau Sumatera.
Aktivitas babi hutan mengaduk-ngaduk tanah sebenarnya membantu mendorong pertumbuhan makanan di hutan. Mereka juga menyebarkan benih tanaman hutan saat sedang mencari pakan.
Pada April lalu, konflik harimau dan manusia di Sumatera Utara sebanyak empat kejadian dalam sebulan. Pada 14 April 2022, seekor harimau dilaporkan menyerang dua ekor sapi di perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara IV di Nagori Parmonangan, Kecamatan Jorlang Hataran, Kabupaten Simalungun. Sapi itu masih hidup dengan luka menganga akibat terkaman harimau.
Sehari sebelumnya, Kepala Desa Desa Sei Sedang, Langkat, mengirim surat kepada BBKSDA Sumatera Utara meminta penanganan harimau yang memangsa dua ekor sapi ternak warganya. Kandang jebak yang dipasang selama sepekan tak berhasil menangkap harimau yang kerap muncul di wilayah ini.
Pada 22 April 2022, Dusun Pardomuan, Desa Batu Godang, Kecamatan Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan, seekor harimau terjerat tali sling baja dari kopling Vespa yang dipasang penduduk di kebun mereka. Saat tim BBKSDA Sumatera Utara hendak melepaskan jerat itu, harimau tersebut justru lepas dan sempat menerkam dokter hewan yang ada di dekatnya.
Terakhir pada 29 April 2022, laporan masuk dari Dusun dua, Desa Sibide Lumbansialtong, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba. Tiga ekor kerbau mati dimangsa harimau.
Harimau merupakan predator apex. Posisinya ada di puncak piramida makanan. Berkurangnya populasi pakan alami harimau seperti babi hutan (Sus scrofa) membuat mereka menjelajah lebih jauh hingga permukiman penduduk. Harimau adalah satwa dengan jumlah yang terus berkurang. Jika mereka punah karena kekurangan pakan, hewan di bawahnya akan menjadi pengganggu perkebunan penduduk. Jika babi diburu, dengan ongkos tak sedikit, tanaman yang menjadi pakannya akan melimpah. Ujungnya ketidakseimbangan ekologi.
Ide membuat peternakan rusa terdengar bagus tapi tak berkelanjutan. Selain mahal, juga akan mengubah teknik berburu harimau secara alamiah. Menghentikan perburuan baru dan menjaga ekosistem hutan tetap menjadi rumah hewan-hewan liar ini cara terbaik melindungi mereka.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :