Kabar Baru| 14 Juni 2022
Tipe Hutan Paling Besar Menyimpan Karbon
ADA berbagai tipe hutan, ada beragam jenis pohon. Tiap tipe dan jenis hutan mempengaruhi kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon. Di masa krisis iklim penting memprioritaskan rehabilitasi tipe dan jenis hutan yang menyerap karbon paling banyak. Namun, di atas semua itu, kemampuan hutan menyerap karbon tergantung pada lingkungan dan perlakuan terhadapnya.
Hutan mangrove, kita tahu, menyerap dan menyimpan karbon paling besar dibanding ekosistem hutan jenis lain. Vox menyebut mangrove Indonesia sebagai ekosistem penyelamat bumi dari kehancuran akibat krisis iklim karena kemampuannya yang besar dalam menyerap dan menyimpan karbon. Tapi, mangrove di satu daerah bisa lebih kecil penyerapan karbonnya dibanding jenis hutan lain.
Faktor penentu penyerapan karbon adalah keanekaragaman hayati di sekelilingnya. Mangrove, meski mampu menyerap emisi karbon dalam jumlah besar, kemampuannya akan berkurang jika keanekaragaman hayatinya lebih tipis dibanding jenis hutan alam primer teresterial.
Inventariasi hutan nasional atau national forest inventory (NFI) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015, yang mengukur serapan karbon hutan Indonesia 1996-2013, menunjukkan cadangan karbon untuk tiap tipe hutan di tujuh pulau besar Indonesia berbeda-beda. Hutan lahan kering di Sumatera menyerap dan menyimpan karbon lebih besar dibanding mangrove primer di Papua.
Di dunia kehutanan tipe hutan dibedakan menjadi hutan primer dan sekunder. Hutan primer artinya hutan alami yang belum mendapat sentuhan perilaku manusia. Karena itu jenis pohon di hutan primer biasanya berusia panjang. Dalam bahasa Inggris dikenal variasi namanya, seperti old-growth forest, ancient forest, virgin forest, primeval forest, frontier forest, atau ancient woodland.
Sebaliknya, hutan sekunder adalah jenis hutan yang terbentuk kembali setelah rusak, baik secara alamiah seperti bencana alam maupun akibat aktivitas manusia seperti pembalakan atau kebakaran. Hutan sekunder bisa kembali menjadi hutan primer, dalam arti ciri-cirinya pulih seperti sebelum rusak. Namun, proses pemulihannya butuh waktu lama. Pada satu jenis hutan sekunder baru bisa pulih menjadi hutan primer setelah 150-500 tahun.
Selain hutan primer dan sekunder, juga dikenal hutan alam dan hutan tanaman. Dalam pengelolaan hutan Indonesia, hutan alam mulai dieksploitasi pada awal 1960-an. Industri kehutanan menjadi industri paling bonafid di masa Orde Baru. Kayu menjadi komoditas paling menghasilkan devisa, mengalahkan minyak bumi dan gas.
Setelah Reformasi 1998, industri kayu meredup, seiring kesadaran akan dampaknya terhadap lingkungan. Pelbagai kebijakan hutan lestari gagal menjaga hutan Indonesia dari kerusakan. Akibatnya deforestasi menjadi dua mata pisau: hutan rusak melepas emisi karbon yang disimpannya, juga tak bisa lagi menyerap emisi yang dilepas oleh aktivitas manusia di tempat lain.
Apalagi, seiring kemajuan dan perkembangan, pemakaian energi fosil kian naik. Minyak, bumi, dan batu bara menjadi komoditas baru untuk menggerakkan ekonomi. Hasilnya, emisi jauh lebih besar dibanding kemampuan hutan dan ekosistem bumi menyerapnya. Akibatnya, krisis iklim seperti sekarang: suhu bumi naik pelan-pelan akibat gas rumah kaca dari emisi karbon kian menebal di atmosfer.
Dalam NFI 2015, jumlah emisi karbon sejak 2009 terus naik seiring kenaikan laju deforestasi. Hingga 2014, emisi karbon yang terlepas dari aktivitas orang Indonesia masih lebih tinggi dibanding kemampuan ekosistem menyerapnya di tujuh pulau besar Indonesia. Pada 2012-2013, emisi karbon mencapai 800 juta ton setara CO2, sementara yang bisa diserap hanya 220 juta ton. Pada tahun itu, laju deforestasi mencapai 700.000 hektare per tahun.
Maka menekan laju deforestasi hanya salah satu cara menekan emisi karbon. Rehabilitasi hutan dan lahan, pemulihan, restorasi, menjadi andalan program pembangunan rendah karbon dalam rencana jangka panjang pengendalian iklim 2030. Dalam nationally determined contribution atau kontribusi penurunan emisi karbon yang ditetapkan, dalam delapan tahun ke depan Indonesia hendak merestorasi hutan gambut dan mangrove seluas 2 juta hektare.
Sebab, gambut dan mangrove menjadi ekosistem paling banyak menyerap dan menyimpan karbon. Keduanya jenis lahan basah yang menghasilkan keragaman hayati tinggi, dibanding ekosistem hutan daratan.
Data NFI menunjukkan, rata-rata serapan karbon hutan mangrove di tujuh pulau besar sebanyak 199,01 ton per hektare, disusul hutan lahan kering primer sebesar 126,64 ton per hektare. Hutan mangrove Jawa adalah ekosistem paling besar menyerap dan menyimpan karbon, sebesar 393,62 ton per hektare.
Perhitungan penyerapan karbon di pelbagai tipe hutan ini, sekali lagi, sangat dinamis. Gangguan terhadapnya akan mempengaruhi kemampuan pelbagai tipe hutan ini dalam menyerap karbon. Kondisi lingkungan dan keragaman hayati di sekitarnya menjadi faktor lain. Serapan karbon berdasarkan jenis hutan akan tergantung pada cara kita memperlakukannya sebagai sumber daya alam penopang ekonomi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :