Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 15 Juni 2022

Perhimpunan Dokter Hewan Kritik Penanganan PMK

Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia mengkritik cara pemerintah menangani PMK. Seharusnya sudah jadi bencana nasional.

Peternakan kambing (Foto: Dok. FD)

PERHIMPUNAN Dokter Hewan Indonesia (PDHI) mengkritik cara pemerintah menanggulangi wabah penyakit mulut dan kuku (PMK). “Pemerintah lamban mencegah PMK meluas,” kata Ketua Umum PDHI Muhammad Munawaroh kepada Forest Digest pada Selasa pagi.

Saat ini, PMK telah menyebar di 18 provinsi, 180 kabupaten, dan menyerang 200.000 ternak di Indonesia. Menurut Munawaroh, solusi pemerintah menjelang Idul Adha dengan menyembelih hewan kurban di rumah potong hewan bukan solusi tepat. Kapasitas maupun manajemen rumah potong saat ini, kata dia, tidak cukup memotong hewan kurban dalam jumlah banyak.

Konstruksi Kayu

Dalam Surat Edaran Nomor 3 tahun 2022 tentang pelaksanaan hewan kurban dan pemotongan hewan dalam situasi wabah penyakit mulut dan kuku mengatur pemotongan hewan kurban bisa dilakukan di RPH maupun di luar RPH dengan melibatkan dokter hewan. Namun hingga saat ini, “kami sama sekali tidak pernah diajak ngobrol sama sekali.” 

Munawaroh menilai pemerintah menggampangkan penanganan wabah PMK. Meski penularannya sangat cepat dalam dua bulan terakhir, pemerintah tidak melibatkan tenaga ahli kedokteran hewan. Padahal, ada ribuan dokter hewan maupun dokter hewan yang sedang koas di Indonesia yang bisa dimintai bantuan untuk pelaksanaan kurban.

PDHI juga telah menyiapkan pedoman untuk penanganan dan penanggulangan PMK secara lengkap, baik untuk sapi potong, sapi perah, kambing, domba. “Tapi kami sama sekali tidak pernah diajak ngobrol," kata Munawaroh.

Meski tingkat kematian ternak akibat PMK rendah, kata dia, penularan PMK sangat tinggi. Hewan kurban seharusnya diperiksa sebelum dan sesudah kematian (antemortem dan postmortem) oleh dokter hewan. Isolasi hewan ternak terinfeksi juga penting. Idealnya, kata Munawaroh, hewan yang sakit dimusnahkan dengan ganti rugi oleh pemerintah.

Namun, karena biaya pemusnahan ternak menuntut subsidi sehingga mahal, menekan penularan adalah cara yang lebih murah. Misalnya, melalui larangan lalu lintas hewan ternak yang sudah dipotong pada bagian kaki, kepala, tenggorokan, dan paru. “Karena itu organ paling banyak virusnya,” kata Munawaroh.

Ahli Kesehatan Masyarakat Veteriner Denny Widaya Lukman juga mengusulkan masyarakat bisa membantu pencegahan penularan PMK dengan berkurban jarak jauh. “Jadi masih bisa berkurban di daerah-daerah wabah PMK tanpa perlu hewannya atau dagingnya berpergian,” katanya.

PDHI juga mengkritik “kemandirian” pemerintah yang hanya mengandalkan Pusat Veteriner Farma dalam membuat vaksin PMK. Saat ini, kata dia, ada berbagai laboratorium yang bisa dilibatkan membuat vaksin, termasuk menciptakan alat uji cepat (rapid test) sebagai alat deteksi dini PMK. Sebab, vaksin PMK harus secepatnya diberikan kepada hewan ternak yang masih sehat.

Menurut Munawaroh dengan kondisi saat ini sudah selayaknya wabah PMK dinyatakan sebagai bencana nasional. “Sudah 70% wilayah yang terpapar wabah,” katanya. Penetapan status bencana nasional juga membuat pemerintah menyediakan anggaran untuk penanggulangan PMK dari pemerintah.

Banyak pemerintah daerah yang melaporkan adanya hewan ternak yang terinfeksi PMK tidak memiliki dana menanggulanginya. “Untuk menanggulangi PMK ini membutuhkan dana yang besar dan waktu yang panjang," kata Munawaroh. Seperti menangani pandemi Covid-19, menangani wabah PMK juga perlu kebijakan yang persisten.

Pada Senin lalu, PDHI mengirimkan surat pernyataan kepada Menteri Pertanian yang berisi 17 masukan dan usulan untuk menanggulangi PMK. “Kami PDHI tidak memiliki kepentingan politik, tidak memiliki kepentingan bisnis, tapi kami bisa memberikan solusi dari sudut pandang ilmiah untuk menanggulangi PMK,” katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain