KRISIS pangan, inflasi, dan krisis iklim adalah kombinasi maut bencana tak berdarah di era modern. Ketiganya saling berhubungan, ketiganya membuat jumlah pengungsi naik, ketiganya membuat ketimpangan semakin menganga. Ditambah perang dan kekerasan, pengungsi jadi bencana kemanusiaan paling genting hari-hari ini.
"Setiap tahun dalam satu dekade terakhir, jumlah pengungsi terus naik," kata Kepala Komisioner Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Filippo Grandi pada 16 Juni 2022. "Komunitas internasional perlu segera mencari solusi atau masalah ini kian berlarut."
Dalam laporan tren global UNHCR, para pengungsi akibat perang dan kekerasan pada akhir 2021 berjumlah 89,3 juta. Jumlah tersebut bertambah 8% dari tahun sebelumnya dan dua digit bila dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Invasi Rusia ke Ukraina juga membuat jumlah pengungsi melonjak, salah satu peristiwa yang memicu gelombang pengungsian terbesar sejak Perang Dunia II. Perang Ukraina juga memicu krisis pangan global, sebab Ukraina adalah pemasok gandum terbesar di dunia. Sebanyak 25% pasokan gandum Indonesia berasal dari Ukraina.
Krisis pangan dan krisis iklim bertautan. Di India, gelombang panas yang brutal memangkas produksi pangan hingga 30%. Berkurangnya salju di pegunungan Afghanistan membuat mata air berkurang hingga irigasi pertanian mereka terganggu.
Di Sudan Selatan, banjir parah membuat 1 juta orang mengungsi. Menurut perkiraan, Sudan akan mengalami banjir lebih parah lagi dan berdampak pada lahan pertanian juga ribuan warga diprediksi akan mengungsi.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) pada Februari lalu juga mengungkapkan suhu yang menghangat 10 Celcius telah memangkas produksi pangan, seperti beras dan gandum.
Jika suhu terus menghangat, panen kemungkinan besar gagal. Krisis ini bakal memicu bertambahnya lagi gelombang pengungsi. Pangkal soalnya adalah krisis iklim.
Karena itu mitigasi krisis iklim, dengan mengurangi emisi karbon, adalah cara terbaik mencegah krisis-krisis lain. Mitigasi krisis iklim juga tak hanya menekankan keikutsertaan negara miskin namun memaksa negara kaya melakukan mitigasi lebih radikal, sebab mereka yang menjadi biang utama pemanasan global.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Penggerak @Sustainableathome
Topik :