Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 22 Juni 2022

Nol Deforestasi, Kunci Mitigasi Krisis Iklim Indonesia

Pemerintah diminta mendorong berbagai negara mengatasi krisis iklim dengan menekan deforestasi. Peluang di KTT G20.  

Deforestasi di Papua (Foto: Ardiles Rante/Greenpeace)

SEJUMLAH pegiat lingkungan dan akademisi meminta pemerintah Indonesia mendorong aksi strategis berbagai negara untuk mengatasi krisis iklim pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada Desember tahun ini melalui pencegahan deforestasi. “Kami menuntut pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin bisnis baru di kawasan hutan,” kata Uslaini Chaus, Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada 21 Juni 2022.

Walhi merujuk data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk menunjukkan kenaikan suhu permukaan bumi selama empat dekade berdasarkan analisis 92 stasiun pemantau cuaca. Misalnya, kenaikan suhu udara permukaan Jakarta dan sekitarnya 0,4-0,470 Celsius per dekade. Sementara suhu Sumatera bagian timur, Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara naik kurang dari 0,3C per dekade.

Konstruksi Kayu

BMKG menekankan penyebab kenaikan suhu udara adalah faktor klimatologis yang dipengaruhi fenomena atmosfer. Analisis BMKG juga memprediksikan tren kenaikan suhu bisa mencapai 0,5C pada 2030. Akibatnya potensi kekeringan juga meningkat 20% dan hujan lebat hingga ekstrem naik hingga 40%.

Walhi berpendapat kenaikan suhu udara bisa diredam jika pemerintah mencegah deforestasi. Deforestasi, berupa penggundulan hutan, membuat emisi karbon terlepas menjadi gas rumah kaca. Di saat bersamaan, deforestasi membuat dunia kehilangan kemampuan menyerap emisi karbon akibat aktivitas manusia.

Bagi perusahaan yang mendapatkan izin konsesi hutan, Walhi meminta area pengganti untuk kayu yang telah dieksploitasi sehingga ada keseimbangan antara deforestasi di area konsesi dengan rehabilitasi di wilayah lain. “Kami juga mempertanyakan pengalihan fungsi lahan menjadi food estate," kata Klaus. Menurut dia, membangun ketahanan pangan seharusnya dilakukan dengan intensifikasi lahan pertanian yang ada, bukan dengan mengorbankan kawasan hutan.

Teguh Surya, pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, LSM, menekankan perlunya prinsip-prinsip keberlanjutan dan penghormatan hak asasi manusia. Menurut dia, konsumen global kini memiliki kesadaran lebih besar dalam memilih produk yang mengedepankan prinsip berkelanjutan.

Gairah baru itu perlu disokong oleh pasokan produsen. Produsen bisa mengakomodasi kebutuhan pasar yang ramah lingkungan tersebut dengan mengganti sumber bahan mentah dari rantai pasok yang mengadopsi prinsip berkelanjutan.

Sebuah penelitian terbaru dari Accountability Framework Initiative (AFI) , perusahaan bisa merugi hingga US$ 80 miliar jika tidak mengatasi risiko deforestasi pada rantai pasoknya. “Bisnis tidak punya pilihan selain bertransformasi agar bisa menyesuaikan dengan kondisi pasar,” kata Teguh Surya. Menurut dia, pemerintah bisa membuktikan kontribusinya dalam prinsip berkelanjutan dengan mendorong implementasi nyata menuju nol deforestasi lewat KTT G20.

Dari kalangan akademisi, Edvin Aldrian, profesor meteorologi dan klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), berharap Indonesia bisa memanfaatkan momentum G20 dengan baik. “Saya berharap Indonesia bisa mendorong pergerakan bilateral untuk nol deforestasi, pemanfaatan energi berkelanjutan, dan hal-hal lain yang menjadi permasalahan global,” kata Edvin, yang juga terlibat dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Edvin juga menekankan pentingnya pemanfaatan sumber energi terbarukan dari matahari, angin, dan gelombang di laut. Perusahaan-perusahaan mesti bertransformasi menjadi korporasi yang lebih ramah lingkungan. "Misalnya, Pertamina berubah fungsi menjadi perusahaan energi yang terbarukan,” kata Edvin.

Di tengah ancaman kenaikan suhu yang sudah terjadi di Indonesia, kebijakan nol deforestasi, prinsip model berkelanjutan, dan transisi energi menjadi jawaban dalam mitigasi krisis iklim sesuai dengan rencana penurunan emisi dalam nationally determined contribution (NDC) dan pembangunan rendah karbon.

Di sektor kehutanan sudah ada rencana melalui kebijakan menerapkan multiusaha: konsesi tak lagi mengandalkan produk kayu, melainkan lebih banyak produk nonkayu, multiusaha, dan kewajiban menerapkan FOLU net sink—menaikkan penyerapan karbon dan menekan pelepasannya. Kebijakan ini menuntut pencegahan deforestasi dan degradasi lahan dan mendorong rehabilitasi hutan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain