Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 Juni 2022

Mengapa Terjadi Perubahan Iklim

Perubahan iklim sedang terjadi di dunia. Tak ada jalan keluar.

Apa itu perubahan iklim? (Ilustrasi: Mr. Believer)

JIKA gas rumah kaca diperlukan bumi sebagai bagian dari proses hukum alam, mengapa para ilmuwan cemas gas-gas itu menjadi biang bencana di planet ini? Gas rumah kaca ada sebelum manusia ada. Di usianya yang 4,5 miliar tahun, siklus alamiah bumi tak berubah. Karena itu mengapa kini terjadi perubahan iklim? Apa itu perubahan iklim?

Ada lima jenis gas rumah yang paling berbahaya di atmosfer karena menyebabkan pemanasan global lalu perubahan iklim. Gas-gas tersebut tinggal di atmosfer selama ratusan bahkan ribuan tahun yang membuat atmosfer kian kehilangan daya serapnya terhadap kedatangan gas rumah kaca baru yang dilepaskan dari bumi.

Konstruksi Kayu

Karbon dioksida paling banyak di atmosfer. Namun, gas ini juga dibutuhkan oleh tanaman di bumi untuk tumbuh. Tanpa karbon dioksida, tak akan ada proses fotosintesis yang melibatkan tanah dan air sehingga tanaman dan pohon bisa tumbuh dan membesar. Artinya, CO2 berguna bagi bumi dan mahluk hidup. Lalu mengapa kita cemas ketika jumlahnya naik?

Tahun ini di atmosfer, rata-rata konsentrasi CO2 sebanyak 420,99 part per million, menurut rekaman Observatory Mauna Loa di Hawaii. Rekor baru tercetak pada 13 Mei 2022 sebanyak 421,68 ppm.

Naiknya pembakaran bahan bakar fosil membuat konsentrasi karbon dioksida terus naik. Selama 10.000 tahun sebelumnya, konsentrasi CO2 di atmosfer stabil 228 ppm. Terlalu banyaknya karbon dioksida di atmosfer membuat selubung bumi ini tak bisa lagi menyerap panas dari matahari dan penguapan dari bumi. Akibatnya, panas itu kembali ke bumi menaikkan suhu secara pelan-pelan.

Atau metana. Gas ini diproduksi oleh dekomposisi mahluk hidup yang dibutuhkan untuk oleh mahluk hidup lain dalam pembentukan geologi bumi. Metana juga bisa dilepaskan dari letusan gunung berapi. Tanpa metana, bumi akan beku karena tak ada yang menyeimbangkan penurunan suhu.

Namun, semua peran itu jika dalam keadaan normal. Artinya, siklus alamiah antara penyerapan dan pelepasan gas rumah kaca tak akan berdampak pada bumi jika berlangsung sesuai hukum alam. Menurut MIT, setiap tahun bumi menyerap dan melepaskan emisi karbon sebanyak 100 miliar ton CO2. Tahun lalu aktivitas manusia memproduksi karbon dioksida sebanyak 36,4 miliar ton. Lalu, sekali lagi, mengapa kita cemas dengan perubahan iklim?

Apa yang diproduksi manusia adalah tambahan gas rumah kaca ke atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan, eksploitasi laut yang berlebihan, atau perusakan-perusakan ekosistem karena tekanan jumlah manusia, membuat atmosfer tak sanggup menampung kelebihan gas rumah kaca.

Dalam How to Avoid Climate Disaster, Bill Gates membuat perumpamaan bak mandi untuk melukiskan krisis iklim. Jika atmosfer seperti bak mandi, sekarang ia kelebihan air, yakni gas-gas rumah kaca yang dipompakan manusia ke sana. Akibatnya air meluber. Kelebihan air itu yang menyebabkan perubahan iklim berupa bencana-bencana iklim seperti musim yang menyeleweng, banjir, rob, kekeringan, topan, hingga suhu ekstrem.

Saat ini produksi emisi akibat aktivitas manusia sebanyak 53 miliar ton setara CO2. Para ilmuwan di PBB telah sepakat bumi tak akan sanggup menanggung bencana jika kenaikan suhu melebihi 1,5C dibanding masa praindustri 1800-1850. Revolusi Industri, yang ditandai dengan penemuan mesin uap 1750, adalah tahun ketika manusia menggali bumi untuk mengeruk energi fosil. Sejak itu, dunia tak sama lagi: manusia mempercepat kemajuan dengan cara merusak bumi.

Untuk mencegah kenaikan suhu bumi 1,5C dibanding masa praindustri, produksi emisi harus dibatasi maksimal 28 miliar ton. Artinya, semua negara harus menguranginya secara gradual hingga 2030 sebanyak 45%. Sayangnya, dari proposal NDC tiap negara ke PBB dalam Konferensi Iklim COP26 di Glasgow pada September 2021, pengurangan emisi seluruh negara hanya 25%.

Mengganti energi fosil, mengubah teknologi, tak memproduksi limbah, adalah cara-cara mengurangi emisi. Bisa juga dengan menaikkan jumlah penyerapnya, yakni ekosistem seperti hutan. Penggundulan hutan, selain membuat kita kehilangan penyerap emisi, penebangan hutan juga melepaskan emisi yang ditahannya ke atmosfer. Karena itu mencegah deforestasi adalah mitigasi krisis iklim paling penting.

Keduanya—mengurangi emisi dan menaikkan penyerapannya—harus berjalan paralel. Soalnya, mempertahankan jumlah emisi dengan menaikkan penyerapannya juga sia-sia. Sebuah studi di jurnal Scince tahun 2020 mengkonfirmasi siklus ini. Apa yang disebut dampak pemupukan karbon atau carbon fertilizer effect (CFE) terus turun.

Pemupukan karbon adalah konsumsi karbon dioksida oleh tanaman melalui fotosintesis. Semakin banyak CO2 tanaman akan mendapat kelimpahan makanan. Masalahnya, seperti mahluk hidup lain, makanan berlebih akan disimpan oleh tanaman sebagai cadangan pangan. Jika masih berlebih juga mereka akan melepaskannya ke atmosfer menjadi gas rumah kaca. Pelepasan ini yang menyebabkan krisis iklim.

Menurut studi itu, yang mengumpulkan data CFE sejak 1982, proses pemupukan karbon atau penyerapan emisi oleh ekosistem darat terus turun dari 21% menjadi tinggal 12% pada 2019 per 100 ppm CO2 di atmosfer. “Dengan kata lain, ekosistem terestetial kian lemah dalam menyerap karbon,” kata Ben Poulter, ilmuwan NASA, salah satu penulis studi itu.

Mengapa bisa seperti itu? Lagi-lagi dampak perubahan iklim. Menurut Ben, ada peran nutrisi dan zat lain dalam mendorong fotosintesis di tanaman dan pohon-pohon. Di daerah tropis, misalnya, perubahan iklim membuat fosfor dan nitrogen (yang diperlukan untuk menahan fotosintesis) berkurang, sementara di daerah iklim sedang kelembaban tanah naik akibat kenaikan suhu permukaan bumi.

Jadi, perubahan iklim membuat dampaknya juga seperti siklus dan lingkaran setan. Krisis iklim melahirkan krisis iklim berikutnya. Menurut Ben, hal terbaik mencegah krisis iklim adalah memperhatikan dengan serius anggaran karbon yang masih tersedia. Anggaran karbon adalah batas jumlah emisi yang masih bisa diproduksi tapi tak menjadi beban berat bagi atmosfer.

PBB telah menetapkan anggaran karbon (carbon budget) hingga 2030 tak lebih dari 400 miliar ton jika dunia ingin kenaikan suhu tak melampui 1,5C. Bisakah kita mencegah perubahan iklim datang lebih cepat? Kebijakan negara yang memaksa semua pihak menguranginya dengan insentif ekonomi adalah kunci. Perubahan iklim tak hanya rumit  prosesnya, mitigasinya pun memerlukan dua kebijakan yang tarik-menarik.

Ikuti percakapan tentang perubahan iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain