SEPULUH tahun lalu, Mahkamah Konstitusi membuat satu putusan bersejarah: menyatakan hutan adat terpisah dari hutan negara. Putusan ini menegaskan di dalam kawasan hutan ada hutan adat. Hutan adat tidak menjadi bagian hutan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 itu mendasari suatu prinsip penjabaran Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang tercantum dalam pasal 18B.
Sepuluh tahun kemudian, penjabaran prinsip konstitusi itu tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Ruang hidup masyarakat adat tetap menjadi sengketa kepentingan dan bukan hanya perkara menjalankan keputusan undang-undang.
Sejak awal 1960, ruang hidup masyarakat adat telah menjadi bagian dari alokasi sumber daya alam bagi para pemegang izin, pengelola tanah/hutan serta pantai, laut maupun pulau-pulau kecil. Berbagai bentuk konflik pun terjadi. Upaya menyelesaikannya telah menjadi agenda nasional, baik oleh organisasi masyarakat adat itu sendiri, lembaga non pemerintah, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tapi hasilnya belum memadai.
Saat ini kesatuan masyarakat adat masih diperiksa sebagaimana kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya seperti pada awal mulanya. Tidak ada batas-batas toleransi perubahan pudarnya hak-hak tradisional akibat kesalahan undang-undang yang dikoreksi Mahkamah Konstitusi itu. Proses administrasi pengakuan masyarakat dan hutan adat bahkan jauh lebih ketat daripada pelayanan administrasi perizinan usaha besar, sehingga putusan Mahkamah itu tidak punya makna yang cukup berarti.
Putusan Mahkamah itu secara substansial menganggap bahwa Undang-Undang Kehutanan keliru, yang berarti negara menganggap ada masalah lalu memperbaikinya. Itu bisa dimaknai bahwa negara telah “menghitung biaya” atas ketidakadilan yang bisa mengurangi nilai-nilai manfaat pembangunan. Ruang hidup yang tidak pasti bagi masyarakat adat telah menyebabkan berbagai pengorbanan, ketidakpastian, konflik, bahkan kearifan lokalnya tergusur secara berangsur-angsur.
Dengan menganggap semua pengorbanan itu sebagai biaya, kita ingat pidato Kennedy, Senator AS pada 1968 yang terkenal itu: “Banyak hal yang membutuhkan biaya dan meningkatkan pertumbuhan kuantitatif ternyata tidak memperbaiki kehidupan masyarakat kita, sementara banyak faktor yang berkontribusi pada kualitas hidup dan komunitas yang berkembang tidak diukur secara moneter. Oleh karena itu, tidak heran kita menghadapi pengambilan keputusan politik yang picik dan keliru, akibat indikator utama keberhasilan yang kita gunakan tidak mencukupi”.
Maka, sebagaimana telah berlangsung selama ini, ada asumsi seolah masyarakat akan makmur akibat pertumbuhan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi itu mestinya dikurangi dengan pengorbanan sosial, budaya dan kearifan mereka, dengan cara mengubah total ruang hidup atau menggusurnya. Tanpa memasukkan biaya pengorbanan itu, kesejahteraan hanya dikaitkan dengan uang atau materi belaka.
Pertanyaannya kemudian: apakah benar Indonesia tumbuh dan berkembang akibat hasil eksploitasi sumber daya alam ketika pengorbanan rakyatnya tidak pernah dihitung sebagai “biaya”? Apa makna manfaat ekonomi yang tumbuh, bila biaya untuk memproduksinya tidak diperhitungkan? Siapa yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan ilmu pengetahuan seperti ini?
Daniel Christian Wahl (2017) dalam “GDP as an insufficient economic indicator and some more systemic alternatives” menyebut bahwa sebagian besar studi berdasarkan indikator alternatif nasional dan internasional menemukan kesejahteraan masyarakat tumbuh paralel dengan kinerja ekonomi (PDB) hanya hingga pertengahan 1970-an. Setelah itu, walaupun kinerja ekonomi meningkat, sebagian besar ukuran kesejahteraan masyarakat merata atau menurun. Implikasi kuatnya adalah korelasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi sangat lemah.
Pernyataan penyair-dramawan W.S Rendra pun menjadi relevan: “Kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan?”
Kebijakan yang dijalankan dengan membuat kerumitan administrasi pengakuan hak dan masyarakat adat mungkin saja benar secara legal dan administratif, tetapi apakah keputusan seperti itu benar secara moral? Benarkah pengorbanan masyarakat adat bisa dikompensasi dengan pertumbuhan ekonomi yang merusak ruang hidupnya?
Pada saat saya bertemu, berbicara, dan saling berpesan dengan korban-korban kebijakan di lapangan, saya melihat banyak praktik ilmu pengetahuan menjadi timpang akibat kehilangan nilai-nilai yang dikandungnya. Praktik ilmu pengetahuan tidak peka terhadap ketidakdilan. Di sini banyak praktik atas dalih yang membuat terjadinya korban-korban. Termasuk dalih akibat undang-undang yang tak sempurna.
Di titik ini timbul pertanyaan lanjutan: benarkah mewujudkan keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran harus bersandar pada undang-undang yang sempurna? Apakah nilai kebenaran “tanpa pasal yang sempurna” jadi hilang? Jika jawaban atas dua pertanyaan itu adalah “ya”, manusia tidak lebih dari sekadar mewakili teks pada lembar-lembar kertas undang-undang.
Semoga di waktu yang terus bergulir ini jawabannya tidak begitu. Memang ada perbaikan walaupun lambat. Solusi atas ketidakadilan perlu terus didukung. Sikap optimistis, kritis, dan konsisten selalu penting agar bisa memperbaiki keadaan.
Margaret Mead bilang “Never doubt that a small group of thoughful commited people can change the world. Indeed it is the only thing that ever has...” Jangan meragukan komitmen sungguh-sungguh segelintir orang.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :