SEJAK pertengahan Juni, Jakarta menjadi juara untuk kategori kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Bukan hanya sekali atau dua kali, peringkat itu tersemat di Jakarta berkali-kali. Dalam sehari, bisa dua kali Jakarta bertengger di posisi puncak. Kini, hampir dua pekan kemudian, kualitas udara Jakarta tidak menunjukkan perbaikan.
Data IQAir pada 26 Juni 2022 pukul 19.52 WIB, Jakarta berada di peringkat pertama kualitas udara terburuk. Jakarta mendapat indeks 153 AQI US dan PM2.5 sebesar 59 µg/m3 atau 11,8 kali di atas nilai panduan kualitas udara Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan sejak 15 Juni 2022, konsentrasi PM2.5 Jakarta tercatat naik dan mencapai puncaknya pada hari itu di level 148 µg/m3. “Penyebabnya kombinasi antara sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang kondusif,” kata Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, pada 25 Juni 2022.
Studi WHO menyebutkan hampir seluruh penduduk (99%) bumi menghirup udara yang tercemar. Tak kurang dari 7 juta kematian setiap tahun akibat pencemaran udara. Tingginya konsentrasi partikulat (particulate matter/PM) dalam udara mengancam kesehatan manusia.
Particulate Matter merupakan partikel halus yang bisa terhirup dengan mudah karena berdiameter sama atau lebih kecil dari 10 mikron (PM10) atau 2.5 μm (PM2.5). Partikulat bisa menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi paru. PM10 bisa mengendap di saluran pernafasan bagian atas. Sementara PM2.5, mampu menembus jauh ke dalam paru-paru dan memasuki aliran darah, menyebabkan dampak kardiovaskular, serebrovaskular (stroke), dan merusak pernapasan.
Tingginya konsentrasi PM2.5 dapat ditandai dengan kondisi udara di Jakarta yang terlihat cukup pekat. Menurut BMKG, PM2.5 cenderung naik pada dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari. Ardhasena menjelaskan tingginya konsentrasi PM2.5 di Jakarta terutama dipengaruhi oleh sumber lokal, yaitu transportasi dan sumber regional, yaitu kawasan industri yang dekat dengan Jakarta.
Sebelumnya, Bondan Andriyanu, juru kampanye Greenpeace untuk polusi udara, sudah menyebutkan bahwa buruknya kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh asap knalpot kendaraan bermotor. Kondisi ini diperparah pula akibat polusi dari provinsi sekitarnya (transboundary air pollution). “Ada jejak pembakaran batu bara pada polutan PM2.5 di Jakarta sebesar 14% dari provinsi di sekitarnya,” kata Bondan.
Dia mengutip kajian Vital Strategies yang bekerja sama dengan ITB dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di tahun 2019-2020. Selain jejak pembakaran batu bara, kontributor utama polutan PM2.5 di Jakarta adalah sektor transportasi, yaitu 32-41% di musim penghujan dan 42-57% di musim kemarau.
Data BPS menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta adalah 11.839.921 pada tahun 2019. Pada 2020 jumlah itu meningkat jadi 20.221.821 kendaraan. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor di Jakarta juga berdampak pada tingginya polusi udara.
Faktor meteorologi sebagai penyebab tingginya polutan juga disebutkan dalam laporan akhir kegiatan pemantauan kualitas udara Jakarta tahun 2021 yang oleh IPB University. Laporan itu menyebutkan adanya penurunan kualitas udara ketika musim kemarau yang dimulai setiap Juli.
BMKG juga mengungkap hal serupa. “Emisi yang dipengaruhi faktor meteorologi bisa menyebabkan peningkatan konsentrasi PM2.5,” kata Ardhasena. Sepanjang pertengahan Juni, pola lapisan permukaan menunjukkan pergerakan massa udara dari timur ke timur laut menuju Jakarta sehingga berdampak pada tingginya konsentrasi PM2.5 di ibu kota.
Selain itu, kata Ardhasena, tingginya kelembapan udara menyebabkan naik absorbsi dari udara menjadi partikel yang meningkatkan kadar PM2.5. Kelembapan juga mendorong munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi membuat PM2.5 di permukaan tertahan dan tak dapat bergerak ke lapisan udara yang lain. Sehingga terjadi akumulasi konsentrasi partikulat.
Di luar itu ada stagnasi pergerakan udara di Jakarta. Kondisi ini menyebabkan polutan udara tidak beranjak dan bertahan lama. “Stagnasi bisa ditandai dengan kecepatan angin rendah,” kata Ardhasena. Parahnya lagi, stagnasi udara bisa memicu produksi polutan sekunder yang tak kalah berbahaya seperti Ozon (O3) yang ditandai dengan penurunan jarak pandang.
Untuk mengurangi tingginya pencemaran udara di Jakarta, penduduk ibu kota bisa berkontribusi dengan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi publik.
Selain menyediakan transportasi publik yang aman, ramah, dan nyaman, pemerintah Jakarta mesti menggenjot pencapaian luas ruang terbuka hijau. Dari 30% luas RTH yang wajiab di sebuah wilayah, ruang terbuka hijau Jakarta belum mencapai 10%. Akibatnya, polutan dari pelbagai kendaraan bermotor, pembakaran batu bara, debu konstruksi tak memiliki penyerap.
Selain itu, karena sumber polusi berasal dari luar Jakarta, pemerintah Jakarta harus menggandeng provinsi dan kota di sekitarnya mencegah pembakaran lebih masif. Agaknya, penanganan polusi lintas batas wilayah administratif ini memerlukan tangan pemerintah pusat.
Ardhasena mengimbau penduduk yang beraktivitas di Jakarta menggunakan masker untuk mengurangi paparan terhadap polutan udara di luar ruangan. Sepanjang kualitas udara Jakarta buruk, risiko kesehatan terlalu mahal untuk diabaikan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :