DIALAH Tyrannosaurus rex atau T-Rex, predator paling ganas yang pernah ada di muka bumi. Tubuhnya besar, giginya tajam, rahangnya kuat hingga mobil pun bisa ia kremus. Dia digambarkan begitu mengerikan dan mematikan dalam seri film fiksi Jurassic World (2016-2022) dan pendahulunya Jurassic Park (1993-1996)
Hanya di seri dokumenter Preshistoric Planet, para pembuat film menampilkannya sebagai makhluk hidup yang mencari pasangan dan kawin. Mulanya si T-Rex pejantan alfa tengah membersihkan diri di sungai. Lalu datanglah T-Rex lain, seekor betina yang juga menuju sungai. Mereka saling membaui.
Si pejantan lantas mengangkat kepalanya tinggi-tinggi ke langit, tanda tak ingin beradu atau saling serang. Yang diikuti T-Rex betina. Mereka lalu masuk ke lembah yang ditumbuhi hutan untuk kawin.
Seri dokumenter terbaru kerja sama BBC Natural History Unit ini menampilkan kehidupan sehari-hari dinosaurus yang hidup di zaman kapur sekitar 68 juta tahun lalu. Berbeda dengan film dokumenter yang telah tayang lebih dulu, seri ini bersumber pada kajian paleontologi terbaru, sehingga beberapa wujud dinosaurus tidak tampak seperti apa yang ada di serial dokumenter sebelumnya.
Velociraptor, dinosaurus letal yang berburu dalam kelompok, digambarkan memiliki bulu-bulu yang memenuhi tubuhnya, seperti ayam, tapi versi yang sangat berbahaya. Dengan tubuh ringan dan penuh bulu burung, velociraptor mampu berburu di lanskap yang sulit, seperti tebing terjal. Bahkan ketika terjatuh, dia masih bisa selamat dan memangsa buruannya.
Sementara T-Rex digambarkan memiliki otot-otot kaki yang kuat yang memungkinkannya untuk berenang di lautan bersama lima anaknya. Meski merupakan hewan darat, T-Rex dewasa masih sangat kuat di lautan. Berbeda dengan anak-anak T-Rex bisa berenang sejak kecil. Jika mereka tertinggal dari papa T-Rex, predator besar lain yang mendiami samudra prasejarah siap memangsa.
Seri yang ambisius ini didukung oleh para ahli yang lama berkecimpung dalam perfilman global. Jon Favreau yang sudah berpengalaman dalam menyutradarai film dengan citra computer grafis (CGI) fotorealistik seperti The Jungle Book (2016) dan The Lion King (2019) didapuk menjadi sutradara.
David Attenborough, penyiar BBC ternama yang menarasikan kehidupan satwa liar di banyak film dokumenter, menjadi pencerita dalam seri ini dengan suara khasnya. Sementara komposer kenamaan Hans Zimmer, yang pernah meraih penghargaan Oscar dan dan Grammy, menciptakan musik pengiringnya.
Ada beberapa adegan yang mengingatkan kita pada adegan thriller ala Hollywood. Seperti ketika Mosasaurus, pemangsa terbesar di samudra bergerak perlahan, sementara adegan berikutnya menampilkan ikan kecil di atas terumbu karang, Lalu dengan adegan perlahan, mosasaurus membuka mulutnya. O tidak, pastilah si monster laut ini akan memangsa ikan kecil itu.
Tapi tidak. Mosasaurus hanya membuka mulutnya dan diam. Lalu si ikan kecil itu masuk ke mulutnya dan membersihkan sisa-sisa makanan di gigi-gigi tajamnya. Sementara ikan-ikan kecil lainnya bermunculan membersihkan kerak-kerak yang menempel di tubuh reptil raksasa ini. Di zaman prasejarah, simbiosis mutualisme juga ada.
Pada adegan-adegan lain, penonton akan disuguhi polah dinosaurus layaknya satwa liar masa kini. Seperti olorititan saling mencuri bahan-bahan untuk membangun sarang, Barbaridactylus menyamar menjadi betina untuk mencuri ‘pasangan’ di tengah kawanan. Ada juga kisah kehidupan makhluk kecil ditengah makhluk raksasa seperti kadal gurun prasejarah yang berusaha menangkap lalat makan siangnya tanpa membangunkan tarbosaurus yang ganas.
Kecanggihan citra computer grafis (CGI) yang dibuat dengan gaya serealistis mungkin dan cerita keseharian dinosaurus layaknya makhluk hidup bisa membuat penonton lupa bahwa tak ada kamera di zaman kapur. Menariknya, Prehistoric Planet tak terjebak dalam penggambaran dinosaurus dalam siklus mencari makanan, bertahan hidup dan kawin saja. Tetapi, juga menggambarkan ekstremnya iklim bumi pada 68 juta tahun lalu di berbagai jenis daratan.
Pachyrhinosaurus, misalnya. Dinosaurus ini hidup di 82°N, atau 82 derajat dari titik pusat kutub utara, lebih jauh dari pepohonan paling utara di bumi saat ini. Ketika pada musim panas mereka memiliki cukup makanan, tetapi ketika musim yang dingin, mereka harus berjuang mendapatkan makanan dengan suhu beku dan cuaca berkabut.
Olorititan yang membesarkan anak-anaknya di tanah vulkanis yang subur tetapi dengan gerombolan nyamuk yang mengganas. Kawanan Secernosaurus yang siklus hidupnya berkelana di gurun gipsum yang keras untuk mencari makanan. Bahkan hutan-hutan purba yang berdekatan dengan danau dan sumber air bersih pun memiliki siklus untuk mengering. Pada akhirnya, hanya yang kuat, yang mampu beradaptasi dengan iklim yang akan bertahan hidup lebih lama.
Di tengah perubahan iklim, film ini secara tak langsung mengingatkan jika kita tidak melakukan sesuatu untuk mengendalikan iklim. Lalu ketika iklim ekstrem kembali melanda bumi, mampukah manusia beradaptasi?
Prehistoric Planet tayang di Apple TV+
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :