ADA sekitar 33,4 juta hektare lahan kritis di kawasan hutan produksi Indonesia. Semuanya memerlukan rehabilitasi. Karena jutaan hektare lahan kritis itu umumnya berada di hutan produksi, anggaran rehabilitasinya berasal dari dana reboisasi. Dana reboisasi adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dipungut dari perusahaan pemegang konsesi hutan alam yang memanfaatkan kayu.
Istilah “rehabilitasi hutan” kita temukan dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999 tentang kehutanan pasal 40. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Prioritas rehabilitasi hutan dan lahan adalah lahan kritis, terutama di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan bisa dipertahankan secara maksimal. Karena itu rehabilitasi tidak boleh di cagar alam dan zona inti taman nasional. Mengapa? Karena untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan pasal 20 menyebutkan rehabilitasi hutan pada kawasan hutan konservasi untuk pemulihan ekosistem, pembinaan habitat, dan peningkatan keanekaragaman hayati. Pada kawasan hutan lindung untuk memulihkan fungsi hidrologis daerah aliran sungai dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Sementara di kawasan hutan produksi, rehabilitasi untuk meningkatkan produktivitas kawasan.
Karena itu rehabilitasi hutan tidak bisa dilakukan di seluruh kawasan hutan. Rehabilitasi hanya di kawasan hutan yang telah mengalami deforestasi, yakni terbukanya tutupan hutan, dalam hutan konservasi dan hutan lindung. Bagaimana dengan hutan produksi? Bagaimana dengan deforestasi terencana dalam kawasan hutan produksi dan bagaimana pula deforestasi akibat perambahan hutan, pembalakan liar, pertambangan liar, dan kebakaran hutan dalam kawasan hutan produksi.
Secara umum, hutan produksi tidak mengenal istilah deforestasi karena penebangan menjadi legal dan terencana. Bahkan jika hutan produksi dimanfaatkan untuk kepentingan lain di luar kepentingan kehutanan, seperti pertambangan, hukum menyediakan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Di kawasan hutan produksi yang telah dibebani hak, penanaman dan pengayaan menjadi bagian dari kegiatan wajib korporasi pemegang perizinan berusaha, bukan semata-mata kegiatan rehabilitasi dalam konteks pasal 41 UU Kehutanan.
Meski deforestasi paling banyak di hutan produksi, prioritas rehabilitasi hutan adalah kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Tutupan hutan konservasi dan hutan lindung harus tetap dijaga dan dipertahankan sedapat mungkin.
Pola rehabilitasi hutan menurut PP 26/2020 adalah reboisasi dan penerapan teknik konservasi tanah. Reboisasi melalui pola intensif dan agroforestri. Reboisasi intensif dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar dan tidak terdapat aktivitas pertanian masyarakat. Sedangkan reboisasi agroforestri pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Sedangkan teknik konservasi tanah dilakukan secara sipil teknis; vegetatif; dan/atau teknik kimiawi. Penerapan teknik konservasi tanah secara sipil teknis dilakukan melalui pembuatan bangunan struktur; dan bangunan nonstruktur. Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif melalui penanaman strip rumput; budidaya tanaman lorong; penanaman kanan kiri sungai; dan/atau; tanaman penutup tanah lainnya. Sedangkan penerapan teknik konservasi tanah secara teknik kimiawi dilakukan melalui pemberian amelioran.
Secara teknis, PP tersebut membuka peluang lebih besar bagi rehabilitasi hutan dalam kawasan hutan produksi dengan dikembangkannya pola reboisasi agroforestri yang mengakomodasi lahan kritis berbentuk kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Kini dana reboisasi diatur dalam PP 23/2021, sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam pengaturan baru ini, dana reboisasi:
- dikenakan tidak hanya atas pemanfaatan hasil hutan kayu tumbuh alami berdasarkan laporan hasil produksi atau lelang kayu hasil hutan kayu alam, juga pada hasil hutan kayu dari hasil rehabilitasi;
- pembagian perimbangan dana reboisasi antara pemerintah pusat dan daerah tidak lagi dibagi berdasarkan antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, tetapi langsung ditulis pemerintah pusat 60% dan pemerintah daerah provinsi penghasil 40%.
- rehabilitasi hutan dan lahan oleh pemerintah pusat diperluas dengan kegiatan perhutanan sosial, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dan/atau pemulihan ekosistem gambut dan mangrove.
- Rehabilitasi hutan oleh pemerintah daerah diperluas dengan pembangunan hutan hak, penghijauan lingkungan, pembangunan hutan kota, rehabilitasi oleh masyarakat, rehabilitasi di taman hutan rakyat.
Sebelum ada UU Cipta Kerja, dana reboisasi untuk pemerintah daerah dikemas dalam bentuk dana alokasi khusus. DAK dana reboisasi kini masuk skema dana bagi hasil. Dengan perubahan ini, dana reboisasi tidak lagi terbatas untuk rehabilitasi lahan sesuai Peraturan Menteri Keuangan 216/2021.
Dana reboisasi bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial. Selain itu, dana bagi hasil dana reboisasi bisa juga digunakan untuk pemberian bantuan tunai langsung bagi masyarakat sekitar hutan.
Karena itu dana bagi hasil dana reboisasi akan sia-sia jika ditumpuk di kas daerah karena akan menghilangkan kesempatan pemerintah daerah menggerakkan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :