PANGAN adalah masalah hidup dan matinya sebuah bangsa, kata Bung Karno saat meletakkan batu pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kelak menjadi Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952. Tanpa ketahanan pangan, sebuah bangsa tak akan mencapai kemajuan ekonomi.
Dalam hitungan Presiden Sukarno, Indonesia defisit 0,7 juta ton beras untuk menghidupi 75 juta penduduknya. Kebutuhan Indonesia akan beras waktu itu sebanyak 86 kilogram per orang per tahun. Indonesia, kata dia, terpaksa mengimpor beras dari Saigon dan Siam untuk menutup kekurangan tersebut.
Tujuh-puluh tujuh tahun kemudian, pangan masih menjadi problem Indonesia. Mendaku sebagai negeri agraris, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur dan industri sudah menyalip jumlah tenaga kerja sektor pertanian. Untuk mencegah krisis pangan, pemerintah membangun food estate atau lumbung pangan.
Masalahnya, proyek di lahan 1,3 juta hektare ini pun tak kurang problemnya. Badan Pemeriksa Keuangan, pada April lalu, selesai mengaudit proyek sejak 2020 hingga semester III 2021. Hasilnya, ada banyak masalah dalam proyek ini di sejumlah daerah. Dari penyiapan lahan yang tak sesuai aturan hingga membangun perkebunannya yang juga tak sesuai aturan.
Proyek food estate berada di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Di Kalimantan Tengah ada di Gunung Mas dan Pulang Pisau. Nusa Tenggara Timur dan Papua akan menjadi provinsi berikutnya dalam ekstensifikasi pertanian ini.
Di Sumatera, ada konflik dengan masyarakat adat. Di Gunung Mas, pembangunan perkebunan singkong yang menghabiskan hutan sekunder bikin banjir yang meredam permukiman penduduk sekitar. Belum lagi, menurut temuan majalah Tempo, proyek ini melibatkan pejabat-pejabat pemerintah sendiri.
Di sebuah diskusi Festival Pangan Jujur di Salihar Art Jakarta tentang ketahanan pangan pada akhir Juni 2022, mengemuka analisis mengapa ketahanan pangan kita rentan. Menurut Didi Muliyanto dari Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi, ada sistem yang tak beres dalam pengelolaan pangan Indonesia.
Pemicunya data neraca komoditas yang belum akurat sehingga pemenuhan pangan selalu pada mengandalkan impor. “Sistem administrasi pangan masih membuka celah untuk korupsi,” kata Didi.
Neraca pangan membutuhkan data permintaan, penawaran, hingga stok pangan untuk menentukan kebijakan pangan. Untuk itu, Didi mengakui, butuh waktu lama.
Saat ini Indonesia masih berkutat dalam urusan membereskan ketersediaan pangan. Urusan ini membutuhkan kemauan dan kebijakan politik tentang seberapa jauh negara berpihak pada pangan lokal. Tanpa keberpihakan, impor pangan akan jadi kebijakan utama. Apalagi, UU Pangan telah diubah oleh UU Cipta Kerja yang menghapus urutan penyediaan pangan: lokal baru impor untuk sisanya.
Setuju dengan Didi, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan politik pangan Indonesia masih menomorduakan petani. Faisal menunjukkan data transaksi perdagangan produk pangan dari Badan Pusat Statistik yang masih mengandalkan impor sejak 2007. “Pemenuhan pangan kita defisit sejak 2007,” katanya. “Ini menerangkan politik pangan kita masih pro atas, bukan petani.”
Data itu juga terkonfirmasi oleh data nilai tukar petani pangan yang terus turun dari tahun ke tahun. Padahal dengan membangun pertanian di tingkat bawah, penduduk miskin di desa bisa berkurang. “Jika ingin mengakselerasi mengentaskan kemiskinan, ya, bangun pertanian yang ada di desa,” kata Faisal.
Anton Apriantono, perwakilan Badan Pangan Nasional, mengatakan sebetulnya secara total rata-rata nasional, produksi pangan Indonesia cukup memenuhi konsumsi penduduk. Hanya saja penawaran dan permintaan yang berbeda tiap daerah menyebabkan gejolak dan perbedaan harga. “Maka dari itu strategi pangan harus holistik mencakup hulu sampai hilir,” kata dia.
Juga kepastian pasar. Para petani sebagai produsen pangan akan terisolasi jika serapan pasar menjadi tidak menentu.
Indah Putri Indriani, Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menceritakan pengalamannya terkendala memasarkan produk pertanian di Luwu Utara. Jika dilihat dari produksi pangan Luwu Utara, selalu surplus setiap tahunnya. “Hanya saja tidak terserap pasar karena distribusi yang sulit,” kata Indah.
Mendengar cerita Indah, Ketua Umum Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah, mengatakan bahwa tidak sinkronnya kebijakan pusat dengan pembangunan pertanian di daerah membuat kebijakan impor jadi andalan dalam ketahan pangan. Padahal, di daerah seperti Luwu Utara, terjadi kelebihan pasokan yang tak menjadi nilai plus bagi petani. “Seperti rumah, lantainya dibersihkan tapi atapnya bocor, ya, percuma” kata Said.
Karena itu Said mengatakan pembangunan pertanian mesti didesain secara region. Pemenuhan pangan secara region akan menghindarkan pemerintah pada kebijakan pukul rata dalam memenuhi kebutuhan pangan secara nasional. Intensifikasi pertanian, bukan ekstensifikasi seperti food estate, bisa menjadi alternatif menaikkan produktivitas untuk memenuhi pangan Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :