Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 Agustus 2019

Konflik Orangutan-Manusia yang Tak Kunjung Usai

Seekor bayi orang utan tewas setelah ibunya terluka ditembak senapan angin di Aceh. BKSDA akan kampanye penyadaran pemakaian senapan angin.

Orang utan Aceh

 UPDATE:

KONFLIK antara manusia dengan orang utan tak kunjung usai. Pada 10 Maret 2019 di Aceh, seekor orang utan Sumatera (Pongo abelii) tewas karena malnutrisi setelah ibunya terluka ditembak senapan angin. Ada 74 peluru yang bersarang di tubuh induk orang utan berusia 30 tahun itu, termasuk tiga peluru yang di mata yang membuatnya buta.

Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh menerima laporan masyarakat Desa Bunga Tanjung di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, ada konflik orang utan yang masuk kebun penduduk. Petugas yang datang ke sana menemukan seekor orang utan di pohon nangka. Di sana juga terlihat bekas sarang dan makanan, seperti pelepah daun sawit dan kelapa.

Orang utan tersebut terisolasi di kebun kelapa sawit milik seorang penduduk. Warga di sana menuturkan bahwa orang utan tersebut sedang sakit bersama anaknya yang berusia satu bulan. “Tangan induk orang utan itu terluka seperti terkena alat dodos kelapa sawit,” kata Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh dalam rilisnya pada 11 Maret 2019.

Tim BKSDA Aceh bersama dengan personel WCS-IP dan HOCRU-OIC mengevakuasi keduanya untuk dibawa ke Pusat Karantina Orang utan di Sibolangit, Sumatera Utara, yang dikelola Yayasan Ekosistem Lestari dan Sumatera Orangutan Community Programme. Di tengah perjalanan anak orang utan itu tewas. Ia diduga malnutrisi akibat ibunya tak bisa menyediakan pakan untuk mereka berdua.

Luka induk orang utan itu tak hanya luka sayat di tangan, melainkan di kaki dan punggung. Petugas yang mengoperasinya menemukan 74 peluru senapan angin di seluruh tubuhnya. Induk orang utan ini diperkirakan usianya 30 tahun. Ia diberi nama HOPE (harapan) karena kondisinya dilaporkan masih belum stabil dalam penanganan intensif para dokter hewan di Sibolangit.

Hope memiliki berat badan 35,68 kilogram. Rambutnya kusam dan kulit bersisik dengan status dehidrasi lebih dari 10 %.  Bagian mulut terlihat bengkak banyak bekas luka dan memar, mata kanan terlihat bengkak dan sudah mengalami kerusakan permanen (bagian mata mengecil dan berwarna putih susu). Kerusakan mata diperkirakan sejak 2-3 bulan lalu. Mata kirinya rusak, dengan pendarahan di bagian kornea dan pupil akibat tembakan 3 butir peluru senapan angin.

Luka lebam di seluruh tubuh, terutama bagian kedua tangan, luka sayatan terbuka di beberapa bagian:

  1. Tangan kanan dengan lebar luka 10 sentimeter, tepi luka rata
  2. Tangan kiri luka di bagian jari-jari dengan lebar luka 2-3 sentimeter, tepi luka rata
  3. Kaki kanan luka terbuka di bagian paha atas dengan lebar luka 10 sentimeter, luka terlihat seperti luka sayatan benda tajam.
  4. Telapak kaki kanan luka terbuka, yang mengakibatkan kerusakan di bagian tendon, dengan lebar luka 5 sentimeter namun luka cukup dalam
  5. Kaki kiri luka selebar 4 sentimeter dengan kedalaman 1 sentimeter di daerah ruas jari telunjuk.
  6. Luka di bagian bahu kiri dengan lebar luka 1 sentimeter, namun cukup dalam (dengan kedalaman lebih dari 10 sentimeter mengenai tulang).
  7. Hasil pemeriksaan dengan Sinar-X, ditemukan:
  8. Peluru senapan angin sebanyak 74 butir yang tersebar di seluruh badan
  9. Patah tulang clavicula kiriter buka (dalam artian tulang mencuat keluar dari kulit).
  10. Retak tulang pelvis kiri dengan keretakan kurang lebih 2 cm.

20190314135258.png

Orang utan Sumatera merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi dari Kelompok Mamalia Primata Famili Hominidae berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/ Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Yang Dilindungi, yang saat ini dalam ancaman kepunahan.

Kejadian di Subulussalam ini merupakan kejadian keempat penggunaan senapan angin untuk menyerang orang utan di wilayah Aceh, selama kurun waktu 2010-2014.  Kejadian pertama di Aceh Tenggara, kedua di Aceh Selatan, ketiga di Aceh Timur dan terakhir di Subulussalam ini.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, kata Sapto Aji, mengecam keras tindakan biadab menganiaya satwa liar yang dilindungi undang-undang ini. Menurut Sapto, BKSDA Aceh telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LHK, melalui Balai Penegakan Hukum LHK Wilayah Sumatera, untuk mengusut kematian bayi orang utan Sumatera dan penganiayaan induknya ini. 

Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera didukung BKSDA Aceh, berkomitmen mengungkap kasus ini. BKSDA juga akan berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Aceh untuk menertibkan peredaran senapan angina ilegal. Sebab dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012, penggunaan senapan angin hanya untuk olah raga dan harus diliput dengan izin. “Kami akan kampanye masif soal penyadaran ini,” kata Sapto.

Foto-Foto: Yayasan Ekosistem Lestari dan Sumatera Orangutan Community Programme

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pengendali ekosistem hutan ahli muda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain