INDONESIA menerapkan dua cara dalam menghadapi krisis iklim: mitigasi dan adaptasi. Mitigasi krisis iklim berupa penurunan emisi karbon sebanyak 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Analisis-analisis mitgasi sudah banyak, yang minim sorotan adalah adaptasi. Padahal, sebagai sebuah cara, adaptasi terhadap pemanasan global memerlukan analisis risiko iklim. Apa itu?
Menurut Rizaldi Boer, pakar iklim IPB University, adaptasi terhadap krisis iklim adalah cara menahan atau mengurangi dampak pemanasan global lebih besar. Manusia diminta berdamai dengan pelbagai bencana iklim untuk mencegah daya rusaknya. Bencana iklim terkait denganbencana hidrometeorologi, seperti banjir, rob, kekeringan, suhu ekstrem, intensitas hujan yang tinggi, atau musim yang menyeleweng.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah mengatur aksi adaptasi yang tertuang dalam prioritas nasional ke-6 tentang membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Aksi adaptasi masuk ke dalam program prioritas terkait dengan peningkatan ketahanan bencana dan iklim.
Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon juga telah diamanatkan penyelenggaraan adaptasi melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan. “Perencanaan dilakukan melalui inventarisasi dampak perubahan iklim yang memuat kerentanan, resiko, dampak dari perubahan iklim serta aksi adaptasinya," kata Rizaldi.
Langkah-langkah itu merupakan agenda untuk menganalisis resiko iklim sebagai basis penyusunan aksi adaptasi. Analisis resiko iklim adalah peluang kejadian bahaya iklim dengan konsekuensi dampaknya. Semakin besar risiko bencana iklim, semakin besar konsekuensinya.
Dalam analisis risiko iklim, konsekuensi bencana hidrometeorologi bisa ditekan melalui penurunan kerentanan dan tingkat keterpaparannya. Kerentanan menunjukkan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan/tata kelola yang menggambarkan tingkat sensitivitas dan kemampuan adaptif sistem.
Sementara keterpaparan krisis iklim adalah gambaran aset sosial, budaya, atau ekonomi pada suatu daerah yang dapat terkena dampak buruk dari suatu kejadian. "Misalnya suatu kota memiliki sistem yang rentan dan peluang terpaparnya tinggi maka konsekuensi atau potensi dampak yang ditimbulkan akan tinggi," kata Rizaldi. "Jika konsekuensi yang ditimbulkan tinggi diiringi dengan peluang terjadinya bencana iklim yang tinggi pula, risiko iklimnya akan tinggi."
Analisis tingkat kerentanan harus ditunjang dengan data pembangunan meliputi sosial, ekonomi, tata kelola, infrastruktur, kata Rizaldi. Data-data ini nantinya akan digunakan untuk menggambarkan tingkat kerentanan suatu wilayah.
Tantangannya, kata Rizaldi, adalah memakai data-data pembangunan tersebut bisa diakses dengan baik dan digunakan untuk evaluasi dampak pembangunan: apakah menuju kerentanan atau semakin tangguh.
Setelah kajian tingkat kerentanan dan keterpaparan, pemerintah akan mengetahui faktor apa saja yang membuat daerahnya rentan dan mudah terpapar. Hal itu akan memudahkan pemerintah daerah menentukan kebijakan untuk merespon faktor-faktor tersebut.
Sebetulnya, kata Rizaldi, sudah banyak kota-kota di Indonesia yang melakukan aksi adaptasi perubahan iklim. Sayangnya, hal tersebut tidak didasari dengan analisis resiko iklim yang memadai. "Anggarannya juga masih terbatas," kata dia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :