Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Juli 2022

Perhutanan Sosial dalam FOLU Net Sink

Selain sektor bisnis dan masyarakat adat, perhutanan sosial bisa jadi andalan lain mencapai FOLU net sink.

Seorang anak dari rompok masyarakat adat Batin Sembilan di Hutan Harapan, Jambi (Foto: Asep Ayat)

PERHUTANAN sosial adalah program pemerintah mendelegasikan hak mengelola hutan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan ini sebagai penebusan setelah selama 30 tahun di masa Orde Baru, pengelola hutan adalah korporasi.

Luas kawasan hutan (artinya hutan negara) yang akan diberikan haknya kepada masyarakat non pengusaha seluas 12,7 juta hektare. Hingga pertengahan tahun ini, sejak 2014, baru tercapai 5 juta hektare. Luas hutan dalam perhutanan sosial hanya 19,2% dari luas hutan yang diberikan kepada korporasi atau 10% dari total kawasan hutan.

Konstruksi Kayu

Delegasi hak mengelola hutan kepada korporasi meninggalkan kawasan hutan tak lagi berhutan seluas 33 juta hektare. Dari data ini muncul keyakinan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat lebih lestari dibanding korporasi. Maka, di era krisis iklim, perhutanan sosial juga menjadi andalan menurunkan emisi karbon, jika benar pengelolaannya lebih lestari.

Menurut Emmy Primaodona dari Komunitas Konservasi Indonesia Warung Konservasi Indonesia (Warsi), LSM, agar perhutanan punya peran dalam mitigasi krisis iklim, perlu pendampingan kepada petani yang telah mendapat izin mengelola kawasan hutan. “Kuncinya ada di pengelolaan tata ruang mikro desa,” kata Emmy dalam webinar “Menjaga Hutan Menjaga Indonesia” oleh Forest Digest dan Yayasan Madani Berkelanjutan, 13 Juli 2022.

Dalam keyakinan Emmy, pendampingan masyarakat menjadi kunci keberhasilan perhutanan sosial. Jika masyarakat tidak didampingi dalam mengelola hutan, kata dia, mereka akan kesulitan dalam merencanakan pengelolaan hutan hingga mengakses pasar komoditas yang mereka kembangkan.

Dengan peran penting masyarakat dalam perhutanan sosial itu, pemerintah hendak mempercepat realisasi perhutanan sosial hingga 2028 dengan menerbitkan Peraturan Presiden tentang percepatan perhutanan sosial. Setuju dengan Emmy, pemerintah juga hendak menggenjot jumlah pendamping perhutanan sosial. Jumlahnya mencapai 25.000 orang—kini baru 1.500 pendamping dari lembaga pemerintah.

Setelah pendampingan, kata Emmy, perlu integrasi perhutanan sosial dengan tata ruang mikro desa. KKI Warsi punya pengalaman mendampingi lima desa di Jambi membuat rencana kerja yang diiringi komitmen menjaga zona yang belum dibuka menjadi zona lindung.

Membuat zona lindung merupakan satu dari lima pembangunan mikro di desa. Empath al lain adalah memotret kondisi riil lapangan, mengatur tata ruang sejalan dengan pembangunan, komitmen tidak membuka zona lindung, membuat zona pemanfaatan, monitoring, dan menghubungkan program pemerintah dengan pengelolaan hutan sosial.

“Bagaimana kita memberitahu masyarakat untuk memanfaatkan lahan tidur itu dengan baik sehingga pendapatan masyarakat jadi maksimal,” kata Emmy. “Masyarakat pun sudah meyakinkan bahwa zona lindung harus tetap dilindungi.” 

Dengan pendekatan itu tutupan hutan di lima desa bertambah dari 59.000 hektare pada 2020 menjadi 61.000 pada 2021. “Sehingga perhutanan sosial sangat sejalan dengan program FOLU Net Sink” ujar Emmy.

Di samping menjaga tutupan hutan—karena ini ukuran hutan tak disebut deforestasi—menggerakkan ekonomi masyarakat adalah tujuan utama perhutanan sosial. Famila Juniarti, pendamping lima desa Jambi itu, menerangkan bahwa sebelum adanya pendampingan, masyarakat belum punya pengetahuan mengelola hutan. “Masyarakat masih memakai kearifan lokal mengelola hutan yang mereka miliki,” kata dia.

Aktivis KKI Warsi mendampingi masyarakat mengurus SK hutan desa dan hutan adat untuk mendapatkan kepastian mengelola kawasan hutan. Setelah itu, masyarakat didampingi menyusun rencana kerja serta pemantauan dan pengamanan hutan mereka.

“Kami juga memfasilitasi pengembangan proses bisnis hingga sampai ke pemasaran seperti pelepah pinang menjadi piring, madu hutan, dan rotan manau,” kata Famila.

Masyarakat di hutan lindung Bujang Raba bahkan berhasil menjual karbon ke pasar karbon internasional. Penjualan karbon merupakan pengembangan atau pemanfaatan jasa lingkungan hutan.

Penjualan karbon sangat tergantung pada kualitas hutan. Harga karbon akan tinggi jika hutannya terpelihara dengan bagus. “Maka tercapainya FOLU net sink hanya bonus dari pengelolaan hutan yang benar,” kata Emmy.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain