MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan surat keputusan nomor 287/2022 tanggal 5 April tentang kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). SK ini menimbulkan kegaduhan dan polemik di kalangan akademisi dan pelaku kehutanan. Ada kekhawatiran pengambilalihan 1,1 juta hektare areal Perhutani oleh pemerintah ini membuat hutan Jawa kian rusak.
KHDPK adalah kebijakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, yang diturunkan lagi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021. Di pasal 112 ayat (1) ada lima tujuan KHDPK, yakni perhutanan sosial, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Kriteria KHDPK telah diatur melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021 di pasal 472 ayat 4. Antara lain: (a) hutan lindung dan hutan produksi yang telah memperoleh izin pengelolaan hutan perhutanan sosial (IPHPS), (b) areal pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan (Kulin KK) yang telah dicadangkan untuk perhutanan sosial dan masuk dalam peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS), (c) telah ada pengelolaan hutan oleh inisiatif masyarakat, (d) telah mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan, (e) telah ada kerjasama pangan dengan badan usaha, (f) hutan lindung dan hutan produksi yang tidak produktif dan (g) areal rawan konflik.
Mereka yang pro pada kebijakan KHDPK beralasan bahwa kebijakan ini telah memenuhi azas pembuatan peraturan karena landasan hukum di atasnya telah ada. Karena itu telah melalui diskusi panjang dengan akademisi, pemerhati lingkungan, Perhutani, hingga pemerintah daerah.
Tujuan KHDPK sebagai upaya membantu menyelamatkan hutan Jawa. Kriteria-kriteria KHDPK terlihat sebagai usaha memperbaiki tata kelola hutan di areal Perhutani. Pemerintah juga hendak mempercepat perhutanan sosial di Jawa yang menjadi program nasional sejak 2014, sekaligus menyegerakan penyelesaian konflik sosial di kawasan hutan.
Mereka yang kontra juga menyoroti areal yang sama, yakni SK 287 ini cacat hukum karena dasar hukum paling atas, yakni UU Cipta Kerja, telah dinyatakan tidak konstitusional. Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 menyatakan proses penyusunan omnibus law ini inkonstitutisonal dan tidak punya hukum mengikat sepanjang tak direvisi selama dua tahun ke depan.
SK 287 juga masih belum dilengkapi dengan peta lampiran yang menunjukkan lokasi atau kawasan hutan mana saja yang sebenarnya menjadi objek KHDPK sehingga sangat dikhawatirkan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dan terjadi perubahan lokasi yang tidak terkontrol. Kekhawatiran yang masuk akal meski aturan operasional KHDPK memang belum sepenuhnya tuntas.
Ada juga yang mempertanyakan terbitnya SK 287 tidak didahului dengan evaluasi secara komprehensif terhadap dua kebijakan sebelumnya, yaitu P.83/2016 tentang perhutanan sosial dan P.39/2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Pasal 3 P.29 menyatakan bahwa perhutanan sosial di areal Perhutani berbentuk IPHPS yang menyisakan persoalan atau kendala yang cukup pelik dan rumit.
Dengan begitu SK 287 KHDPK perlu dijaga kerawanan dalam implementasinya karena akan bersifat “membagi-bagikan” lahan garapan saja kepada pihak tertentu yang arahnya bisa disebut “privatisasi” kawasan hutan. Akibatnya pengelolaan KHDPK menjadi “tidak terkontrol” sehingga mengganggu kelestarian kawasan hutan bahkan mendorong kian masifnya deforestasi sehingga kawasan hutan mudah menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
Setelah SK 287 terbit, ada kelompok pendukung reforma agraria yang menganggap bahwa KHDPK adalah hak memiiki kawasan hutan, seperti di daerah Cikeusik, Pandeglang, Banten. Kelompok Serikat Petani Indonesia menduduki lahan hutan yang kabarnya masuk areal KHDPK.
Di beberapa daerah juga terjadi sosialisasi SK 287 oleh lembaga swadaya masyarakat, termasuk pemerintah daerah. Padahal, kelengkapan SK 287, yakni peta area belum terbit bahkan masih jadi perdebatan.
Pro-kontra KHDPK memerlukan inovasi kebijakan yang arif dan bijaksana, dan pada beberapa hal bukan sesuatu yang baru. Perhutanan sosial di Perhutani, misalnya, praktiknya sudah terjadi sejak 1986. Karena itu KHDPK di bidang perhutanan sosial hanya mengulang kisah lama.
KHDPK acap disebut inovasi kebijakan. Menurut Dwayne Spradlin dalam "Are You Solving the Right Problem?" di Harvard Business Review (2012), inovasi kebijakan memerlukan kecermatan dan ketelitian mendefinisikan masalah sehingga bisa mengartikulasikan mengapa masalah itu penting. Tanpa ketelitian itu, pembuat kebijakan akan kehilangan peluang, membuang sumber daya dan akhirnya mengejar inisiatif inovasi yang tidak selaras dengan strategi.
Analisis proses kebijakan biasanya menyoroti interaksi kompleks dari narasi yang mendasari kebijakan tersebut, jaringan aktor yang mendukung atau menolaknya, dan kepentingan politik yang mendorong proses dan membuka potensi strategi dan taktik. Pemahaman tentang politik, birokrasi, kekuasaan dan kepentingan di balik kebijakan akan memberikan pengertian bagaimana formulasi dan implementasinya selalu terbuka untuk interpretasi dan manuver
Kebijakan KHDPK, karena itu, perlu kesepakatan di antara birokrasi sendiri sebelum merealisasikannya di lapangan. Aturan teknis SK 287 tentang KHDPK perlu mengakomodasi kepentingan semua pihak sehingga inovasi kebijakan ini bisa diterima oleh sebagian besar pemangku kepentingan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :