DENGAN ukuran kinerja pemerintah menghabiskan anggaran, setiap kebijakan diperlakuan sebagai proyek. Padahal, keberhasilan sebuah kebijakan mesti berlanjut setelah proyeknya selesai. Artinya, masyarakat yang terdorong oleh proyek itu kemudian mengerjakan sendiri dengan inisiatif mereka. Untuk mencapai proses ideal ini perlu rekayasa sosial secara pribadi.
Apa itu rekayasa sosial secara pribadi atau self-social engineering? Dalam ilmu sosial, terutama implementasi kebijakan, ada yang disebut dengan rekayasa sosial agar masyarakat yang menerima program kebijakan pemerintah bisa menerimanya. Namun, rekayasa sosial saja tidak cukup.
Kini adalah rekayasa sosial secara pribadi. Sumardjo, mantan Kepala Pusat Kajian Resolusi Konflik IPB University, menerangkan perbedaan rekayasa sosial dan rekayasa sosial secara pribadi. Keduanya memang bertujuan agar masyarakat menjadi pelaku sukarela pembangunan berkelanjutan. Keduanya, kemudian berbeda metodologi.
Rekayasa sosial adalah upaya transformasi sosial secara terencana (social planning). Pada rekayasa sosial, masyarakat menjadi objek dari perekayasa sehingga masyarakat tidak bisa melakukan keinginannya sendiri dalam mengembangkan kehidupan sosialnya.
Sementara rekayasa sosial secara pribadi objek rekayasanya adalah masyarakat untuk dirinya sendiri melalui perencanaan sosial yang mereka rencanakan sendiri. Dengan rekayasa sosial secara pribadi, intervensi perekayasa menjadi berkurang. Akibatnya, transformasi sosial berjalan secara organik.
Dalam rekayasa sosial terjadi dominasi perekayasa sehingga keuntungan dari sebuah kebijakan pun hanya dirasakan oleh perekayasanya. Akibatnya, setelah sebuah kebijakan melalui proyek berhenti, rekayasa sosial juga ikut berhenti.
Contohnya dalam rehabilitasi hutan. Masyarakat akan giat menanam pohon untuk mengembalikan degradasi lahan karena didorong oleh program pemerintah. Setelah proyek rehabilitasi pemerintah selesai, berhenti pula menanam pohon. Lahan kembali terdegradasi. Atau rehabilitasi tidak meluas ke semua areal.
Menurut Sumardjo, untuk mencegah rekayasa sosial berhenti setelah proyek selesai, perlu ada komunikasi internatif. Dalam komunikasi jenis ini, antara perekayasa—yaitu petugas pemerintah—dan objek rekayasa, yakni masyarakat, berjalan setara. “Ini disebut komunikasi konvergen, tidak ada yang mendominasi, semua jadi komunikator sehingga akan terjadi pemahaman yang sama,” ujar Sumardjo.
Selain terjadi pemahaman yang sama, komunikasi interaktif akan membentuk kesepakatan dan tindakan perbaikan (corrective action). Tindakan perbaikan artinya perekayasa dan masyarakat berperan sesuai porsinya.
Karena komunikasinya setara, pendapat masyarakat, keinginan-keinginan masyarakat dalm sebuah program juga terakomodasi. Misalnya, karena masyarakat tinggal di sekitar area proyek rehabilitasi, mereka akan paham jenis pohon apa saja yang mendatangkan benefit ekonomi buat mereka. Sehingga rehabilitasi tak sekadar menanam pohon, melainkan memberikan manfaat bagi kebutuhan ekonomi masyarakat.
Dengan merasakan manfaat, dan terakomodasi keinginannya dalam menanam pohon jenis yang mereka kehendaki, kemungkinan masyarakat memelihara dan melanjutkan rehabilitasi menjadi mungkin. Dengan begitu, proyek rehabilitasi akan berlanjut dengan kesadaran masyarakat sendiri.
Menurut Sumardjo, konsep rekayasa sosial secara pribadi harus dimiliki setiap pendamping masyarakat dalam berbagai proyek pemerintah seperti perhutanan sosial. Perhutanan sosial memerlukan sebanyak 25.000 pendamping lapang hingga 2028.
Perhutanan sosial yang memanfaatkan kawasan hutan dengan bertumpu pada tiga kaki manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan secara konsep adalah pembangunan hutan berkelanjutan. Namun, di banyak tempat perhutanan sosial menjadi mangkrak karena masyarakat yang mendapat akses mengelola hutan itu tak merasakan manfaatnya mengelola hutan melalui program ini.
Konsep rekayasa sosial pribadi ini juga dirasakan Hariadi Kartodihardjo ketika meneliti program rehabilitasi hutan di Lampung. Pengamatannya bisa dibaca di sini. Hariadi, guru besar Fakultas Kehutan IPB, menyebut keberhasilan rehabilitasi di Lampung adalah tumbuhnya modal sosial menjaga hutan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :