Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 21 Juli 2022

Fenomena “Lautan Susu” di Samudera Hindia

Samudera Hindia berlimpah lautan susu. Fenomena langka.

Citra satelit pada 2 Agustus 2019 pukul 1752 Waktu Universal Terkoordinasi, menunjukkan hamparan lautan bercahaya seluas 100.000 km2 (Kredit: Steven D. Miller/Journal PNAS)

ANAK buah kapal Pesiar Ganesha gemar menikmati pemandangan dari dek kapal di waktu luang. Kadang-kadang, saat matahari tenggelam, mereka berdiri di dek untuk menyaksikan warna langit berubah menjadi gelap.

Pada suatu malam Agustus 2019, keadaan di luar dek kapal berubah dramatis. Anak buah kapal yang sedang berada di dek menyaksikan perairan Samudra Hindia yang mereka arungi berubah menjadi lautan susu yang berkilauan di tengah gelap malam.

“Tidak ada bulan. Sehingga seolah-olah kami berlayar di tengah salju,” begitu catatan kapal tertulis. Para ABK baru menyadari beberapa lama kemudian bahwa mereka melintasi fenomena langka yang dikenal sebagai “lautan susu.”

“Lautan susu” merupakan fenomena langka yang membuat perairan berkilau di tengah malam. Fenomena ini disebutkan dalam sejumlah literatur. Jules Verne mendeskripsikan hal ini dalam 20.000 Leagues Under The Sea. Sementara Heman Melville berkisah dalam Moby Dick. Pada 1830, ahli biologi Inggris, Charles Darwin, mengalami fenomena ini yang dia jabarkan pada bab delapan buku The Voyage of HMS Beagle.

Kru kapal Ganesha tidak memahami fenomena yang mereka saksikan pada malam di tahun 2019 itu. Saat itu, mereka tengah berlayar dari Lombok, Indonesia, menuju Kepulauan Cocos (Keeling), Australia, di Samudra Hindia Timur.

Dengan pencahayaan ala kadarnya mereka sempat mengabadikan fenomena itu dengan kamera telepon seluler. Setelah tiga tahun, para ilmuwan baru mengkonfirmasi bahwa pemandangan unik itu bukan ilusi visual. Ulah bakteri diduga menjadi penyebab Samudra Hindia bersinar.

Berbeda dengan bioluminesensi yang disebabkan oleh fitoplankton di perairan yang tercemar, “lautan susu” menghasilkan cahaya yang stabil, bahkan di perairan yang tenang. Penyebabnya kemungkinan besar bakteri yang memproduksi cahaya untuk berkomunikasi satu sama lain dan memicu respons dengan berpendar. Fenomena ini jarang dipelajari karena kondisinya yang jarang, terpencil, dan kemunculannya yang tidak teratur.

Pada 2021, Peneliti Steven D. Miller dari Colorado State University mengidentifikasi pendaran cahaya di lepas pantai Jawa. Luasnya 100.000 kilometer persegi, hampir seluar pulau Jawa. Ini kejadi pada 2019. Dia yakin ini adalah fenomena “lautan susu” tapi tidak bisa yakin tanpa ada laporan lapangan. Dia lalu mempublikasikan hipotesisnya dengan harapan ada konfirmasi dari pelaut yang tengah melintasi wilayah itu.

Fotografi digital lautan susu Jawa pada 2019 yang diabadikan oleh kru Kapal Pesiar Ganseha (Foto: kru Ganesha/Journal PNAS)

Kru kapal Ganesha kemudian menghubunginya. Miller mewawancara kru tersebut dan membandingkan rute kapal dengan koordinat citra satelit dan sukses mengkonfirmasi pengamatannya pada 2019 adalah “lautan susu” yang dialami para kru pada bulan Agustus.

Berbeda dengan perkiraan Miller, pendaran cahaya yang disaksikan para kru berasal dari 10 meter di bawah permukaan air. Bukan seperti lapisan permukaan tipis seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sampel air yang diambil mengungkapkan adanya titik cahaya stabil yang menggelap saat diaduk. “Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi dengan bioluminesensi ‘normal’,” kata Miller seperti dikutip Guardian, Senin, 11 Juli 2022

Miller menjelaskan bahwa dia yakin fenomena cahaya di perairan Samudra Hindia tersebut disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi yang berkoloni dan memakan alga. Ketika jumlah bakteri ini semakin banyak, mereka akan mulai berpendar.

Studi tentang "lautan susu" telah dipublikasikan di jurnal PNOS. Meski demikian, masih banyak hal-hal yang menjadi misteri tentang fenomena ini. Seperti bagaimana bakteri bisa membuat pendaran cahaya pada area yang cukup besar di lautan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain