BANYAK hal ganjil di negeri ini. Misalnya, dana bagi hasil dari dana reboisasi yang mengendap di rekening pemerintah daerah cukup besar. Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan nilainya Rp 4,17 triliun. Sementara untuk rehabilitasi mangrove yang rusak pemerintah mesti mencari pinjaman ke Bank Dunia sebesar US$ 400 juta atau hampir Rp 6 triliun.
Pungutan dana reboisasi kepada perusahaan kehutanan ditujukan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 memperluas pemakaian dana reboisasi tak hanya untuk rehabilitasi lahan kering, juga untuk pemulihan mangrove dan gambut.
Dalam rencana pemerintah, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove punya tanggung jawab memulihkan 600.000 hektare mangrove yang rusak di sembilan provinsi. Pemulihan itu saat ini terkendala pendanaan. Kebutuhan biaya untuk pemulihan mangrove yang menjadi tugas BRGM sebesar Rp 23 triliun.
Biaya yang cukup mahal untuk sebuah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, jika dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di lahan kering. Jika mengacu pedoman standar biaya kegiatan di lingkup Kementerian Lingkungan dan Kehutanan tahun 2021, kegiatan pembuatan hutan rakyat hanya Rp 5,7-7,2 juta per hektare. Tahun 2022, rehabilitasi mangrove melalui penanaman kembali (revegetasi) ditargetkan mencapai 11.000 hektare.
Menurut Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko, untuk mempercepat rehabilitasi mangrove, aspek pendanaan ini harus menggunakan banyak skema. Selain APBN, juga kerja sama dengan pihak luar negeri ataupun bentuk-bentuk komitmen lainnya.
Menurut Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi, kendala pendanaan terjadi karena ada sinergi antar kementerian dan lembaga. Setiap kementerian memiliki tugas merehabilitasi mangrove dengan luas berbeda-beda.
Selain pinjaman dari Bank Dunia, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab untuk rehabilitasi mangrove di Bangka Belitung seluas 10.000 hektare pada Februari 2022. Sebulan kemudian juga ada kerja sama dengan Singapura mengembangkan riset ekonomi hijau sebagai solusi mitigasi krisis iklim. Sementara dengan Arab Saudi, pemerintah bekerja sama merehabilitasi mangrove seluas 150.000 hektare.
Selama ini keberhasilan rehabilitasi mangrove diukur dari berapa luas lahan yang telah ditanam, bukan luas lahan yang berhasil menjadi hutan mangrove setelah minimal 10 tahun. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan rehabilitasi mangrove sepanjang 2021 seluas 124.000 hektare. Ini target penanaman yang tingkat keberhasilannya baru bisa diketahui beberapa tahun kemudian. Tingkat keberhasilan rehabilitasi ini tak pernah dirilis ke publik.
Ada anggapan apa yang telah ditanam oleh pemerintah dalam kegiatan rehabilitasi hutan adalah luas rehabilitasi yang berhasil. Padahal, cerita keberhasilan rehabilitasi mangrove melalui revegetasi banyak dilakukan oleh kelompok masyarakat maupun perorangan meski luasnya di bawah 10 hektare di lokasi terpencar-pencar.
Contohnya rehabilitasi mangrove oleh Thoyeb, seorang nelayan Desa Tongke Tongke di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan, yang memperoleh hadiah penyelamat lingkungan berupa Kalpataru tahun 1995. Thoyeb mampu menghijaukan hutan mangrove di kampungnya karena paham karakteristik mangrove dengan habitatnya.
Selain pembiayaan rehabilitasi mangrove dari utang, rasanya perlu meninjau dan merestrukturisasi kembali dana bagi hasil dana reboisasi yang mengendap di rekening pemerintah daerah karena nilainya cukup besar.
Opsi lain pajak karbon kehutanan dan penggunaan lahan yang aturannya masih disempurnakan. Sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48%. Komposisi ini harusnya menunjukkan skala prioritas upaya pengendalian krisis iklim termasuk pembiayaannya melalui pajak karbon.
Pajak karbon kehutanan seharusnya mampu menyumbangkan kontribusi pemasukan negara yang sangat besar mengingat luas hutan Indonesia mencapai 125,3 juta hektare. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat dunia akan menjadi ladang baru bagi bisnis di sektor kehutanan di era krisis iklim.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan mencapai Rp 26-53 triliun atau 0,2-0,3% produk domestik bruto dengan asumsi tarif pajak US$ 5-10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi.
Kalau kita menggunakan analogi terbalik berdasarkan persentase penyumbang emisi karbon paling besar, yakni sektor kehutanan, dengan memakai hitung-hitungan Bahana Sekuritas, pendapatan pajak karbon dari sektor kehutanan akan mampu menambah kontribusi kepada negara Rp14-16 triliun setiap tahun. Ini angka yang besar jika dipakai untuk rehabilitasi mangrove dan gambut.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :