PENANGANAN penyakit mulut dan kuku (PMK) terkendala banyak masalah. Sebulan setelah Satuan Tugas Penanganan PMK (Satgas PMK) terbentuk, banyak provinsi dan kabupaten/kota belum membentuk satgas serupa di tingkat lokal. Menurut juru bicara Satgas PMK Wiku Adisasmito, ketiadaan satgas lokal akan makin menyulitkan koordinasi mencegah wabah.
“Penanganan PMK butuh koordinasi seluruh komunitas, pemerintah, TNI/Polri, swasta, akademisi, pakar, asosiasi terkait, masyarakat dan media,” kata Wiku pada 26 Juli 2022. Satgas PMK nasional meminta provinsi dan kabupaten/kota untuk segera membentuk Satgas PMK.
Hingga kini baru Aceh, Kepulauan Riau, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat yang mendirikan Satgas PMK lengkap dari provinsi hingga kabupaten/kota. Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Banten, Yogyakarta yang masuk zona merah dan Bangka Belitung yang masuk zona kuning baru membentuk Satgas tingkat provinsi. Di Jawa Barat yang temasuk zona merah baru Kabupaten Garut telah membentuk Satgas.
Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah yang masuk zona merah belum sama sekali membentuk Satgas PMK. Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan yang masuk zona kuning juga belum membentuk satgas di tingkat manapun.
“Kami meminta daerah, provinsi dan kabupaten/kota segera membentuk satgas untuk mengendalikan PMK, bahkan di wilayah yang masuk zona hijau sebagai upaya mencegah wabah meluas,” kata Wiku.
Kriteria zona merah PMK jika kasus infeksi PMK yang melebihi 75% wilayah provinsi yang terinfeksi. Sementara zona kuning berlaku bagi provinsi yang kurang dari 50% wilayahnya terpapar PMK.
Saat ini, pemerintah menetapkan larangan lalu lintas hewan ternak maupun daging ternak dari zona hijau ke zona kuning dan zona merah. Lalu lintas ternak hanya diperbolehkan dari zona kuning ke zona merah, dan zona hijau ke zona kuning dan merah.
Sementara itu, produk olahan ternak berupa susu bubuk dan kornet, bebas keluar masuk zona-zona dengan penanganan biosecurity yang ketat. Pelarangan keluar masuk hewan ternak beserta seluruh produk olahannya hanya berlaku untuk Bali.
PMK merupakan penyakit pada hewan berkuku belah seperti sapi, kambing, domba, kerbau, babi yang sangat mudah menular. Virus PMK bisa menular melalui kontak langsung, kontak tidak langsung, lewat benda-benda, dan udara. Penyakit ini bersifat akut, menetap, dan belum ada obatnya. Penanganan PMK harus dilakukan secara cepat agar tidak meluas.
Jika dibiarkan berlarut-larut penyakit ini bisa mengguncang ekonomi suatu negara. Kementerian Pertanian pernah merilis studi pada 2018 yang mengungkap potensi kerugian Rp 9,9 triliun, jika PMK menjadi wabah nasional.
Lambatnya pembentukan Satgas PMK di tingkat daerah makin memicu kerentanan biosecurity Indonesia menghadapi wabah penyakit ternak. Wabah PMK masuk ke Indonesia akibat rendahnya kebijakan mengutamakan biosecurity.
Hingga 26 Juli 2022, situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 426.477 hewan ternak terpapar PMK. Dengan jumlah pemotongan bersyarat sebesar 6.021 ekor dan mati 3.766 ekor. Total ada 265 kabupaten/kota terinfeksi di 22 provinsi. Satgas PMK daerah bisa mencegah wabah kian meluas.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :