TARSIUS adalah primata terkeci di dunia yang menjadi hewan endemik pulau Sulawesi. Ada 11 jenis tarsius yang tersebar merata di pulau Sulawesi, delapan jenis di antaranya masuk dalam daftar satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018. Primata unik ini mengkonsumsi serangga sebagai pakan utamanya, sehingga tarsius bisa menjadi pengendali hama.
Tarsius fuscus merupakan jenis tarsius yang tersebar di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), Sulawesi Selatan. Dengan pengalaman panjang berinteraksi dengan tarsius, masyarakat sekitar taman nasional memakai tarsius sebagai pengendali hama serangga.
Masyarakat sudah menyadari bahwa cara mengendalikan hama adalah dengan menjaga populasi salah satu satwa kunci agar ekosistem seimbang. Dengan adanya tarsius sebagai predator alami serangga biaya mencegah dan menghalau hama bisa ditekan.
Hama sudah menjadi permasalahan umum yang sering dihadapi para petani hutan. Umumnya serangga. Pengendalian hama serangga sangat diperlukan para petani mengingat kebutuhan pakan serangga adalah daun. Apabila pengendalian tidak dilakukan dengan benar akan berimplikasi pada kesehatan tanaman yang dijadikan substrat serangga tersebut.
Berdasarkan data hasil ekspedisi kelompok pecinta alam Rimbawan Pencinta Alam (Rimpala) Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, ada 48 individu Tarsius fuscus pada 13 titik lokasi sarang di Desa Samaenre dan Desa Bentenge, Resort Mallawa, TN Babul. Menurut Safira Arda, ekspeditor Rimpala, jumlah tarsius diduga masih banyak dalam kawasan taman nasional namun ketika mereka melakukan ekspedisi belum ditemukan secara menyeluruh karena berbagai keterbatasan.
Sebagian besar komoditas yang dihasilkan masyarakat desa Samaenre dan Bentenge, dua desa di Taman Nasional Bantimurung, adalah komoditas pertanian dan perkebunan.
Menurut Pado, salah satu pemandu lapang pengamatan tarsius, dengan adanya tarsius di sekitar perkebunan setidaknya bisa membantu mengurangi populasi serangga yang berisiko merusak tanaman masyarakat.
Masyarakat desa Bentenge dan Samaenre dulunya menganggap tarsius sebagai hama di lahan perkebunan dan pertanian masyarakat sehingga canderung diburu karena dianggap merusak.
Menurut Chaeril, satu staf Taman Nasional Bantimurung, dalam seminar hasil ekspedisi Rimpala, pendapat tersebut telah patah oleh fakta yang ditemukan masyarakat sendiri. Beberapa studi kasus dan sosialisasi oleh balai taman nasional mengukuhkan bahwa tarsius justru bermanfaat mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Dengan kesadaran masyarakat tersebut, mereka sangat menghargai tarsius. Selama sepuluh tahun terakhir, populasi tarsius naik 44,15% pada 2021.
Sinergi antara masyarakat dan staf balai taman nasional melindungi tarsius bisa menjadi contoh kolaborasi positif antara masyarakat dan pemerintah. Pemahaman akan pentingnya menjaga kelestarian satwa liar di Indonesia akan mendukung kelestarian hutan, satwa liar, dan keragaman hayati, bahkan menciptakan ketahanan pangan.
Dengan melindungi mereka, tarsius bisa menjadi pengendali hama hutan yang melindungi pangan. Seperti yang dirasakan penduduk di sekitar Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mahasiswa Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :