LUAS lahan mangrove Indonesia 3,3 juta hektare, terluas kedua di dunia. Namun gangguan terhadap ekosistem mangrove membuat ekosistem pesisir ini bisa menjadi beban bagi Indonesia, alih-alih menguntungkans ecara ekonomi dan ekologi.
Gangguan terhadap ekosistem mangrove datang perilaku manusia menyebabkan deforestasi mangrove terjadi dari tahun ke tahun. Padahal mangrove menyimpan berbagai manfaat baik ekonomi, ekologi, dan budaya untuk manusia.
Manfaat mangrove antara lain sebagai fungsi budaya, perlindungan pantai, pengaturan iklim, penyediaan produksi hasil hutan, hingga mendukung kegiatan perikanan. Jika ekosistem ini rusak manfaat mangrove itu akan berubah menjadi bencana yang akan melanda manusia. Bencana tersebut sudah dirasakan di beberapa daerah misal Pantai Utara Jawa yang mengalami abrasi hingga banjir rob yang tidak kunjung usai.
Ancaman yang paling besar terhadap ekosistem mangrove adalah konversi menjadi tambak udang. Berdasarkan perhitungan Badan Restorasi Gambut dan mMangrove (BRGM), konversi mangrove menjadi tambak seluas 631.802 hektare. Konversi ini paling banyak terjadi di area penggunaan lain (APL), yaitu sebesar 393.623 hektare sedangkan di kawasan hutan sebesar 238.179 hektare. Pemberian izin lahan di APL ada di tangan pemerintah daerah.
Satyawan Pudyatmoko, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM, mengatakan bahwa perkiraan deforestasi mangrove menjadi tambak tahun 2021-2030 seluas 299.258 hektare. Maka dari itu, BRGM memiliki target untuk merehabilitasi mangrove seluas 605.812 hektare selama 2021-2024. Target tersebut tercantum dalam Peta Jalan Rehabilitasi Mangrove 2021-2030 yang sudah disahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
2021-2024
Periode ini akan fokus pada percepatan rehabilitasi mangrove. Target rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare yang diperhitungkan dari jumlah luas seluruh lanskap yang telah dilakukan intervensi.
2025-2027
Fokus pada rehabilitasi mangrove dalam pengelolaan hutan lestari. Teritegrasinya pengelolaan mangrove dalam rencana pembangunan, rencana kegiatan dan usaha, dan terbangunnya unit-unit manajemen mangrove pada lokasi-lokasi tertentu.
2028-2030
Fokus pada pengelolaan mangrove lestari. Pada periode ini targentnya terbangun sistem pengelolaan mangrove lestari yang dipedomani oleh setiap unit manajemen dan menjadi dasar dalam pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
2030
Tercapai target mangrove net sink. Mangrove net sink adalah penyerapan emisi oleh ekosistem mangrove setara dengan pelepasan emisi akibat konversinya. Caranya dengan meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan peran ekosistem mangrove dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.
“Tujuan penyusunan peta jalan memberikan target rehabilitasi dan garis besar arah pengelolaan mangrove sebagai acuan bagi para pihak untuk menyusun rencana aksi sesuai tugasnya masing-masing”, ujar Satyawan dalam konferensi pers “Tata Kelola dan Peta Jalan Mangrove Nasional”, 3 Agustus 2022.
Agar tujuan itu tercapai, BRGM akan melakukan memberikan pengetahuan dan panduan kepada pemerintah daerah dengan sosialisasi peta jalan agar pemerintah daerah bisa berjalan bersama untuk merehabilitasi mangrove, khususnya di APL.
Mangrove yang berada di APL menjadi tantangan untuk direhabilitasi karena banyak konflik kepentingan. "APL dan tambak adalah kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove,” kata Satyawan.
Untuk menghindarkan benturan dan konflik kepentingan, kata Satyawan, pengelolaan mangrove akan berbasis lanskap untuk menyeimbangkan kepentingan perlindungan dan kepentingan produksi.
Saat ini, kata Satyawan, yang terjadi dalam pengelolaan mangrove adalah trade off kepentingan. Artinya jika mengutamakan kepentingan perlindungan, kepentingan produksi akan kecil. Maka dari itu, penataan berbasis spasial memungkinkan kedua kepentingan tidak saling tukar kepentingan namun bersifat sinergi.
Satyawan mencontohkan jika di APL ada kawasan mangrove yang masih bagus sehingga berpotensi menjadi kawasan lindung, pemerintah harus menetapkan pengaturan tata ruangnya. "Perlu regulasi setingkat peraturan pemerintah untuk melindungi dan mengatur mangrove yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan,” terang Satyawan.
Sebagai penyerap dan penyimpan cadangan karbon biru yang besar, mangrove sebetulnya lebih menguntungkan jika dilindungi dan direhabilitasi. Perdagangan karbon bisa menjadi insentif bagi pemerintah daerah maupun individu yang merestorasinya. Ekosistem mangrove bisa menyimpan 800-1.200 ton per hektare karbon, 4-5 kali lipat dibanding ekosistem hutan daratan. Sehingga potensinya dalam perdagangan karbon cukup besar.
Selain itu ekowisata dan pemanfaatan bioprospeksi hutan mangrove akan menjadi insentif tambahan yang membuat nilai ekonomi ekosistem mangrove jauh lebih besar dibanding jika dikonversi menjadi tambak udang.
Hanya saja pengaturan perdagangan karbon belum tuntas, bioprospeksi masih jadi konsep, dan multiusaha kehutanan yang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu belum punya contoh nyata. Peta jalan rehabilitasi mangrove pun masih punya tantangan besar dalam implementasi hingga menjadi mangrove net sink sesuai pembangunan rendah karbon hingga 2030.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :