Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Agustus 2022

Dampak Invasi Rusia ke Ukraina dalam Ketahanan Pangan Indonesia

Pasokan pangan terganggu akibat invasi Rusia ke Ukraina. Perlu menjaga hulu sungai.

Agroforestri, menggabungkan tanaman pertanian dan kehutanan, satu cara dalam ketahanan pangan dalam konsep food estate (Foto: Dok. FD)

DAMPAK invasi Rusia ke Ukraina mulai terasa, terutama inflasi akibat pasokan dan distribusi bahan pangan yang terganggu sehingga ketahanan pangan sejumlah negara menjadi rentan. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan harga mi instan akan naik tiga kali lipat, meski sudah dibantah oleh produsen mi.

Sebab, bahan dasar mi instan adalah gandum. Sebanyak 24% gandum Indonesia berasal dari Ukraina. Perang Ukraina membuat pasokan gandum tersendat. Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan agar kita bersiap menghadapi krisis pangan dengan mencari substitusi bahan pangan yang ada di Indonesia.

Gandum mi instan, Jokowi mencontohkan, bisa diganti dengan singkong. Juga pemerataan distribusi. Selama ini Jawa menjadi pusat pangan Indonesia karena faktor infrastruktur dan kesuburan lahan. “Harus ada mitigasi mencegah kelangkaan pangan dari sisi demand dan supply,” kata Ernan Rustiadi, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University.

Menurut Ernan, di luar soal dampak perang Rusia-Ukraina, mitigasi pangan penting karena produksinya acap tak seimbang dengan kebutuhannya. Seperti diramalkan ahli ekonomi Inggris Thomas Maltus, pertumbuhan manusia bersifat eksponensial dibanding pertumbuhan pangan. Artinya, kebutuhan selalu lebih banyak dibanding penyediaannya.

Kini ada krisis iklim yang membuat produksi pangan bisa terganggu. Di Papua, kelangkaan pangan dipicu oleh musim kering yang membuat sejumlah tanaman gagal panen.

Karena itu, menurut Ernan, salah satu mitigasi ketahanan pangan di era krisis iklim adalah menjaga hulu-hulu sungai. Sebab, hulu sungai menjadi sumber air untuk menjaga kesuburan lahan. “Umumnya bencana hidrometeorologis juga ada di hulu sungai,” kata dia.

Apalagi di Jawa kecukupan hutan tak lagi sebanding dengan luas lahan. Hutan Jawa tinggal 19% dari luas wilayahnya. Padahal, kecukupan luas hutan untuk menjamin daya dukung minimal 30%.

Menurut Ernan, untuk mengimbangi jumlah penduduk, produksi pangan mesti dua kali lipat dari sekarang. Komoditas pangan utama, seperti padi, kentang, gandum, sorgum, hingga sagu mesti menjadi perhatian karena jenis-jenis tanaman ini penyuplai karbohidrat, sumber utama energi manusia.

Selama 2,5 tahun masa pandemi, Indonesia bisa menekan impor beras. Menurut Ernan, intensifikasi lahan pertanian bisa menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meski kini impor bukan pilihan akhir dalam memenuhi pangan, kata Ernan, menggerakkan petani lokal sangat penting agar ketahanan pangan Indonesia tidak terpengaruh kondisi geopolitik.

Dampak perang Rusia dan Ukraina sudah merambah ke pelbagai sektor. Selain inflasi, pasokan gas ke beberapa negara juga tersendat. Dalam globalisasi, gangguan pasokan energi akan merembet kepada produksi pangan di lain negara. 

Ernan kembali mengingatkan bahwa ketahanan iklim juga mencakup ketahanan pangan. Menjaga mata air sebagai sumber utama pangan adalah keniscayaan agar Indonesia tak masuk ke dalam krisis pangan akibat sumber produksinya rusak.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain