INDONESIA beruntung mempunyai formasi hutan yang lengkap. Dari hutan pantai hingga hutan hujan dataran tinggi. Dari mangrove, rawa gambut, hutan tropika dataran rendah, hingga hutan tropika basa dataran tinggi. Mangrove paling besar menyerap karbon. Karena itu bisakah ia dijadikan kawasan lindung mangrove?
Ada dua jenis ekosistem hutan yang unik karena selalu digenangi air, yaitu mangrove dan gambut. Keduanya mampu menyerap dan menyimpan emisi karbon terbesar dibanding dengan hutan tropis lainnya. Jika setiap hektare hutan sekunder mampu menyimpan karbon 54,1-182,5 ton, kemampuan mangrove menyimpan karbon 3-5 kali lipat lebih tinggi.
Berdasarkan tempat hidupnya, ciri-ciri hutan mangrove adalah adanya sedimentasi (tanahnya berlumpur) karena selalu basah, airnya berkadar garam payau hingga asin. Data tahun 2019 menyebutkan luas hutan mangrove Indonesia 3,56 juta hektare, yang terdiri dari 2,37 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektare rusak.
Data terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut total luas mangrove 4.120263 hektare yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih ada (existing) 3.364.080 hektare dan potensi mangrove seluas 756.183 hektare.
Mangrove existing terdiri dari ekosistem mangrove yang lebat seluas 3.121.240 hektare, sedang 188.366 hektare, dan jarang 54.474 hektare. Luas mangrove di kawasan hutan 2.936.813 hektare dan mangrove di APL atau area penggunaan lain 1.183.449 hektare. Di dalam kawasan hutan, luas mangrove yang rusak 748.182 hektare dan di APL 480.651 hektare.
Jika mangrove begitu besar menyerap dan menyimpan karbon, mengapa ia tidak dilindungi? Apakah mangrove di APL tidak dimasukkan saja ke dalam kawasan hutan agar bisa dikembalikan menjadi areal lindung?
Mangrove tumbuh di pesisir pantai, tapi tak semua pantai bisa ditanami mangrove. Karena itu perlu pengaturan antara tata ruang dan sektor kehutanan agar mangrove bisa terjaga dengan baik:
Pertama, dalam Undang-Undang 26/2007 tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Dari lima kriteria kawasan lindung dalam UU ini, hutan konservasi, hutan lindung dan kawasan pantai berhutan bakau masuk dalam kriteria kawasan lindung.
Kedua, pembagian fungsi kawasan hutan (konservasi, lindung, dan hutan prodkusi) dalam kawasan hutan mangrove sudah tidak realistis dan tidak ada dasar hukumnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang perencanaan hutan dan diubah dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pembagian fungsi kawasan hutan (khususnya lindung dan produksi) hanya berlaku dalam kawasan hutan daratan yang didasarkan pada faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan.
Sementara dalam kawasan hutan mangrove, faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan relatif sama. Jadi dasar hukum apa yang digunakan untuk membedakan hutan lindung dan hutan produksi di hutan mangrove?
Ketiga, akibat kesalahan masa lalu dalam pemetaan, ada hutan mangrove yang masuk dalam kawasan APL. Padahal APL ini hanya berlaku pada hutan produksi di kawasan daratan yang masuk dalam irisan kawasan budi daya dalam peta tata ruang. Sementara itu, kawasan hutan pantai berhutan bakau telah dipertegas masuk dalam kawasan lindung (bukan kawasan budi daya yang secara otomatis bukan masuk dalam APL).
Dengan demikian, mangrove existing seharusnya mutlak menjadi kawasan lindung, baik di hutan konservasi maupun hutan lindung yang masuk dalam kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan produksi bagi hutan mangrove harus diubah menjadi hutan konservasi dan hutan produksi melalui mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan yang dijamin PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang mempermudah perubahan fungsi kawasan di dalam fungsi kawasan atau antar fungsi kawasan (konservasi, lindung, dan produksi).
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang bertugas menangani mangrove telah merehabilitasi mangrove yang rusak hampir 600.000 hektare. Pemerintah sampai harus mencari pinjaman US$ 400 juta atau hampir Rp 6 triliun untuk merehabilitasi mangrove dari Bank Dunia.
Rehabilitasi mangrove dalam bentuk penanaman kembali (revegetasi) dalam skala luas dan masif bukan pekerjaan mudah. Salah memilih lokasi dan jenis akan berakibat fatal dan peluang mangrove hidup makin kecil.
Secara teknis penanaman, rehabilitasi mangrove sangat berbeda dengan rehabilitasi hutan di daratan. Pemupukan tanaman di piringan tanaman dalam rehabilitasi hutan, tidak dikenal dalam penanaman mangrove. Karena itu kualitas bibit atau anakan mangrove yang tinggi menjadi salah satu kunci keberhasilan penanaman mangrove di samping pemilihan lokasi dan pemilihan jenis tanaman yang tepat.
Sebelum ada BRGM Kementerian Kehutanan telah lama merehabilitasi mangrove melalui unit pelaksana teknis di daerah, yakni Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL yang ada di setiap provinsi). Bahkan dahulu ada Balai Rehabilitasi Mangrove di Medan (Sumut) dan Denpasar (Bali) yang khusus menangani rehabilitasi mangrove.
Sayang pengawasan, pelaporan, dan verifikasi rehabilitasi mangrove sangat lemah dan tak transparan. Publik tidak mendapatkan gambaran utuh luas areal mangrove yang telah ditanam dalam jangka waktu tertentu 5, 10, 15 tahun sejak rehabilitasi. Selama ini KLHK hanya merilis luas mangrove yang ditanam berikut dana/anggaran yang digelontorkan setiap tahunnya saja.
Sebagai contoh Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHKmenanam mangrove seluas 15.000 hektare dengan anggaran Rp 406,1 miliar di 34 provinsi. Menurut pengalaman saya, rehabilitasi mangrove jarang berhasil. Keberhasilan rehabilitasi mangrove hanya 30% jika programnya dari pemerintah.
Berbeda dengan masyarakat. Karena mereka hidup dari hutan mangrove, mereka telaten memeriksa dan mengawasi pertumbuhannya. Karena itu agar rehabilitasi tak perlu, mengapa ia tak dijadikan saja kawasan lindung mangrove agar tak dialihfungsikan menjadi bentuk lain, seperti tambak atau perkebunan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :