Kabar Baru| 17 Agustus 2022
Arti Net Zero Emissions
ANDA mungkin makin sering mendengar istilah net zero emissions seiring makin gencarnya kempanye mitigasi iklim. Ini istilah yang diperkenalkan dalam Konferensi Iklim di Paris pada 2015 atau Conference of the Parties (COP) 21. Konferensi ini paling bersejarah karena untuk pertama kali, setelah konferensi pertama pada 1992, sebanyak 192 negara menyepakati pengurangan emisi dengan lebih serius untuk mencegah krisis iklim.
Dalam COP21 itu negara-negara peserta konferensi—termasuk Indonesia—diminta memasukkan proposal penurunan emisi mereka hingga 2030 dan 2050. Para ilmuwan di IPCC, badan PBB, menetapkan bahwa puncak krisis iklim terjadi jika kenaikan suhu bumi mencapai 20 Celsius pada 2050 atau 1,5C pada 2030 dibanding masa praindustri 1800-1850.
Kenaikan suhu itu akibat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca terjadi karena emisi dari bumi tak lagi bisa diserap oleh ekosistem planet ini. Saking berlebihan, emisi itu menguap ke atmosfer dan memerangkap panas di sana, alih-alih menyerap dan melepaskannya ke luar angkasa dalam siklus normal alam semesta.
Karena itu cara terbaik mencegah kenaikan suhu adalah mengurangi emisi. Untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1,5C pada 2030, dunia harus bersama-sama memangkas jumlah emisi sebanyak 45%. Dan agar kenaikan suhu tidak mencapai 2C, dunia harus serentak mencapai net zero emissions.
Apa arti net zero emissions? Jika diterjemahkan artinya nol emisi bersih. Nol atau zero dalam net zero emissions adalah nihilnya jumlah gas rumah kaca yang menguap ke atmosfer. Artinya, seluruh emisi yang diproduksi oleh aktivitas manusia terserap seluruhnya oleh ekosistem bumi.
Emisi berasal dari aktivitas manusia seperti produksi energi, pembangunan, penebangan hutan, pertanian, hingga peternakan. Emisi yang terproduksi itu akan menguap menjadi gas rumah kaca jika tak terserap dan tersimpan setelah terbuang. Ada enam jenis gas rumah kaca yang paling berpengaruh terhadap kemampuan atmosfer menyerap emisi.
Sementara bersih atau net dalam net zero emissions merujuk pada pengurangan gas rumah kaca yang sudah ada di atmosfer. Artinya, selain menihilkan jumlah gas rumah kaca, mitigasi iklim juga mesti menyerap gas rumah kaca yang berabad-abad tinggal di atmosfer. Caranya dengan menambah populasi ekosistem penyerap gas rumah kaca di bumi.
Para ahli sudah menghitung jumlah emisi maksimal yang bisa diserap oleh ekosistem bumi hanya sebanyak 25 miliar ton setara CO2. Ketika seluruh dunia sepakat mengurangi emisi 45% pada 2015 dalam Perjanjian Paris, jumlah emisi global tahunan sebanyak 47 miliar ton.
Janji seluruh dunia mengurangi emisi itu harus dituangkan dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) atau kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan. Indonesia baru meratifikasi Perjanjian Paris itu setahun berikutnya dengan menetapkan penurunan emisi sebanyak 26%. Angka ini kemudian dinaikkan menjadi 29%. Hingga COP 2020 Indonesia belum nenetapkan tahun net zero emissions.
Baru pada COP26 di Glasgow, proposal NDC revisi Indonesia memasukkan target net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat. Ada embel-embel “lebih cepat” dalam target Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan pilihan empat target tahun net zero emissions Indonesia: 2045, 2050, 2060, dan 2070. Indonesia memilih seperti Cina yang menetapkan karbon netral pada 2060.
Masalahnya, menurut IPCC, dari 45% target penurunan emisi, semua negara dalam dokumen NDC mereka jika diakumulasikan hanya sebanyak 25%. Dunia pun dipastikan gagal mencapai mitigasi krisis iklim. Namun, jika semua negara berhasil mencapai target penurunan emisi mereka sekalipun, suhu tetap naik 2,3-2,4C pada akhir abad ini.
Telat menetapkan kebijakan mengurangi emisi dengan menyetop pemakaian energi fosil dan berganti ke energi terbarukan, membuat mitigasi iklim gagal. Tapi ini bukan berita baru. Para ilmuwan sudah mengingatkan pada 1820 bahwa iklim sedang berubah. Pada 110 tahun lalu, mereka juga mengumumkan bahwa penggalian dan pembakaran batu bara sebagai sumber energi akan mengakibatkan krisis iklim.
Karena itu kebijakan mencapai net zero emissions adalah kebijakan penting dunia hari ini untuk mencegah krisis iklim yang ditandai dengan pelbagai bencana dan perubahan-perubahan siklus alam yang mengancam keberlangsungan planet ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :