Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Agustus 2022

Dalam Ancaman Susut Pangan

Salah satu sebab krisis iklim adalah susut pangan. Setujukah jika ada denda untuk mereka yang tak menghabiskan makanan?

Sampah makanan akibat gaya hidup yang tak menghargai pangan

BULAN lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan harga pangan dunia akan naik 20%. Pandemi Covid-19, perubahan iklim, invasi Rusia ke Ukraina adalah penyebab inflasi pangan. Di tengah kenaikan harga pangan, kita menghadapi problem tak kalah serius, yakni susut pangan dan bubazir makanan (food lost and waste).

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Dominicus Savio Priyarsono mengatakan susut pangan dan mubazir pangan menjadi problem krusial di tengah pelbagai masalah tersebut. Masalahnya, kita tidak menyadari bahwa susut pangan adalah masalh serius. Menurut Savio, riset dan studi soal susut pangan seperti penghitungan dan dampak buruk sampah dan sisa makanan belum terlalu banyak.

Konstruksi Kayu

Karena penelitian belum memadai, data mengenai susut pangan dan mubazir pangan belum banyak tersedia. Padahal data sangat penting untuk mengambil kebijakan publik.

Dalam hipotesis Savio, sekitar 1/3 pangan yang sebetulnya bisa dimanfaatkan terbuang. Menurut Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) mubazir pangan berupa sampah makanan sebesar 23-48 ton per tahun. “Angka itu setara dengan 115-184 kg per kapita per tahun,” ujar Savio.

Dengan angka itu, setiap orang Indonesia menyumbang sampah makanan sekitar 150 kilogram per kapita per tahun. "Ada yang mengatakan bahwa Indonesia juara kedua dalam mubazir pangan," kata Savio.

Susut pangan diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar 4-5% produk domestik bruto (PDB) Indonesia atau Rp 213-551 triliun per tahun.

Susut dan mubazir pangan juga menyebabkan emisi karbon, yakni 172,9 juta ton setara CO2 dari susut dan mubazir pangan.

Savio menerangkan penyebab susut pangan adalah kurangnya sarana, prasarana, maupun teknologi mengolah kembali makanan sisa. Sementara mubazir pangan karena murni oleh perilaku hidup manusia. "Selama manusia masih menyepelekan proses produksi pangan, permasalahan susut pangan akan terus ada,” kata Savio.

Proses produksi pangan dari hulu ke hilir sangat panjang. Dalam sebutir nasi, ada jasa petani, ada ongkos mengolah padi menjadi gabah, gabah menjadi beras. Ada bahan bakar yang digunakan untuk mengantar beras ke pasar-pasar terdekat. Ada listrik yang digunakan untuk memasak beras menjadi nasi.

Gambaran tersebut bisa menjadi alasan kuat agar kita bisa mengubah gaya hidup untuk tidak mubazir pangan. Di beberapa negara maju, kata Savio, sudah mulai diterapkan denda jika tidak menghabiskan makanan yang dipesan di restoran. "Kebijakan itu bagus untuk menyadarkan bahwa kita tidak boleh seenaknya dalam urusan pangan sehingga harus diterapkan juga di Indonesia,” kata Savio.

Strategi mengurangi susut pangan bisa dilakukan dengan investasi industri pangan agar bahan makanan tidak rusak. Peningkatan literasi publik juga menjadi penting untuk mengurangi mubazir pangan.

Dengan kesadaran publik terhadap susut pangan dan mubazir pangan kita akan lebih menghargai makanan. Gerakan ibu-ibu rumah tangga untuk mendidik anaknya serta adanya kampanye besar-besaran bisa menjadi solusi peningkatan literasi publik.

Penguatan komunikasi internasional juga menjadi penting dalam mengurangi susut dan mubazir pangan. Ada problem Indonesia sudah ekspor pangan ke luar negeri namun terbentur oleh standardisasi keamanan pangan yang ada di negara pengimpor tanpa sepengetahuan negara pengekspor. “Angka pangan terbuang cukup besar dari kegiatan ekspor ini,” kata Savio.

Savio menganjurkan pemerintah memanfaatkan Presidensi G20 untuk mengusulkan pentingnya efektifitas pertukaran informasi terkait dengan standar keamanan pangan. "Agar pengekspor pangan tidak dirugikan," kata dia. Sehingga susut dan mubazir pangan akibat aktivitas ekonomi antar negara tak membuat bencana lain.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain