Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 18 Agustus 2022

Polusi Udara Jakarta Paling Parah

Polusi udara Jakarta menyumbang angka kematian akibat paparan PM 2.5 meningkat. Kota mana paling layak ditinggali?

Pencemaran udara Jakarta

JAKARTA menjadi salah satu kota terpadat dengan polusi udara paling gawat di dunia selama 2010-2019. Kajian Kualitas Udara dan Kesehatan Kota 2022 yang dipublikasikan State of Global Air Report pada 17 Agustus 2022 menyebutkan polusi udara Jakarta termasuk paling polutif di dunia.

Kajian itu merangkum data paparan polusi udara dan dampak kesehatan pada 103 kota dengan populasi minimum 50,000 penduduk pada 2019.

Konstruksi Kayu

Kajian tersebut menunjukkan bahwa paparan PM2.5 penduduk dari kota-kota di India, Nigeria, Peru, dan Bangladesh beberapa kali lebih tinggi dari rata-rata global, yakni 34,6 mikrogram per meter kubik (µg/m3).

Jakarta ada di posisi keenam kota terpolutif di dunia itu dengan 67,3 µg/m3. WHO telah menentukan nilai ambang batas PM2.5 di udara sebesar 5 µg/m3 dengan target interim 35 µg/m3.

Daftar 20 Kota dengan Pencemaran PM 2.5 Paling Tinggi (Sumber: Air Qualities and Health in Cities 2022)

Kajian itu juga mengungkap bahwa dari data pencemaran udara terhadap 7.239 kota selama 2010-2019, ada 20 kota yang mengalami peningkatan pencemaran udara polutan PM2.5 tertinggi di dunia. Sebanyak 18 dari daftar itu berada di India, sementara sisanya ada di Indonesia.

Dari 20 kota yang mengalami penurunan pencemaran udara dari polutan PM2.5 selama 2010-2019, semuanya berada di Cina.

Pencemaran udara pada sebuah kota berasal dari sumber lokal dan regional. Sumber pencemaran udara bisa berbeda di tiap kota. Di London, Inggris, misalnya, kajian itu mengungkap penyebab pencemaran PM2.5 berasal dari pertanian (25%), transportasi (11%) dan perumahan (11%). Sementara di Chicago, Amerika Serikat, penyebab pencemaran berasal dari sektor transportasi (18%), energi (11%) dan industri (13%).

Hasil inventarisasi emisi polusi udara Jakarta mengungkap bahwa sektor transportasi menjadi penyumbang polutan PM2.5 terbesar, yaitu 67,04%, disusul oleh sektor industri (26,8%), pembangkit listrik (5,7%), perumahan dan komersial (0,44%).

PM2.5 merupakan polutan yang bersumber dari aktivitas manusia (antropogenik) seperti pembakaran tidak sempurna dari rumah tangga, produksi energi, aktivitas industri, transportasi dan lain-lain.

PM2.5 berbentuk partikel halus berukuran 2,5 µm atau setara sehelai rambut dibelah 20. Partikel ini bisa terhirup dan mengendap di saluran pernapasan bagian bawah, bahkan bisa masuk ke dalam aliran darah yang menyebabkan berbagai penyakit.

Dalam jangka panjang paparan polutan PM2.5 bisa menyebabkan penyakit jantung iskemik, kanker paru-paru, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), infeksi saluran pernafasan bagian bawah, stroke hingga diabetes tipe 2. Polutan PM2,5 merupakan polutan terbesar yang menjadi sumber penyakit di penjuru dunia.

Kajian itu juga mengungkap bahwa Jakarta merupakan kota kelima dengan tingkat kematian akibat polutan PM2.5  di dunia dengan 106 dari 100.000 kematian. Pada peringkat sebelumnya ada Beijing (124/100.000 kematian), Chengdu (118/100.000 kematian), Kyiv dan Kharkiv (114/100.000 kematian).

Dampak Kesehatan Terparah Akibat Polutan PM 2,5 (Sumber: Air Qualities and Health in Cities 2022)

Kajian itu merupakan kajian pertama yang menilai dampak paparan polutan Nitrogen dioksida (NO2) secara global. NO2 merupakan polutan berbentuk gas yang berhubungan dengan lalu lintas. NO2 melimpah di udara perkotaan. NO2 bisa bereaksi dengan zat lain di udara membentuk partikel maupun ozon.

Pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan, produksi energi, dan industri merupakan sumber utama NO2. Di kota-kota, kendaraan sering menjadi sumber utama NO2.

Orang-orang yang tinggal di dekat jalan raya dan jalan raya mengalami paparan NO2 yang lebih tinggi. Paparan NO2 dapat memperburuk gejala asma dan telah dikaitkan dengan perkembangan asma pada anak-anak dan orang dewasa. Ada juga bukti yang mendukung hubungan antara paparan jangka panjang terhadap NO2 dan kematian.

Jakarta tidak masuk dalam 20 kota dalam daftar pencemaran NO2 tertinggi. Dalam daftar tersebut, kota-kota di belahan bumi utara dan selatan lebih banyak tercemar NO2 dalam jumlah lebih tinggi dari rata-rata (155 µg/m3) ketimbang kota-kota di daerah tropis. WHO telah menentukan nilai ambang batas NO2 di udara yaitu 10 µg/m3 dengan target interim 40 µg/m3.

Kota-kota yang memenuhi nilai ambang batas NO2 kebanyakan berada di pesisir dan memiliki kondisi cuaca yang bisa menghilangkan polutan NO2, antara lain di kota Suva (Fiji), Mtwapa (Kenya) dan Karangasem (Indonesia),

Kajian tersebut memprediksi bahwa pada 2050 hampir 68% populasi dunia akan hidup di kota dan menghirup udara perkotaan. Pemerintah kota bisa mengendalikan sumber utama polusi perkotaan dengan kebijakan lalu lintas,kegiatan industri, pembakaran sampah, dan pembangkit listrik. Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa relokasi sumber pencemaran dari dalam kota ke daerah pinggiran seringkali bukan merupakan solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas udara.

Polusi udara Jakarta membuat pemerintah kota seharusnya fokus menguranginya, dengan memperbanyak transportasi publik, mengganti tenaga listrik menjadi energi baru terbarukan, dan memperbanyak pedestrian untuk mendorong penduduk kota berjalan kaki dan bersepeda.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain