REFORMA agraria merupakan implementasi UUD 45 pasal 33 ayat 3. Reforma agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan lahan, baik tanah di hutan ataupun di desa-desa.
Ada dua skema reforma agraria, yakni tanah objek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial. Dalam praktiknya, lahan yang termasuk dalam TORA dan perhutanan sosial akan dibuat per klaster dan dikelola oleh kelompok masyarakat terutama untuk diberdayakan di bidang pangan.
Bedanya ada pada hak pemanfaatannya. Jika TORA bisa digunakan sebagai hak milik atas tanah, lahan perhutanan sosial hanya hak akses, izin, kemitraan mengelola hutan.
Meski menjadi hak milik, lahan TORA tidak bisa dijual dan tidak bisa dipecah melalui sistem waris. Sedangkan penggunaan lahan perhutanan sosial tidak boleh merusak ekosistem hutan dan penebangan kayu hanya dibolehkan di hutan produksi.
Penyediaan lahan untuk TORA seluas 4,1 juta hektare. Penyelenggaranya Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sementara perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kebijakan ini sebetulnya peluang bagus bagi KLHK mendistribusikan kembali lahannya mempunyai kesempatan yang baik untuk sekaligus menata dan memvalidasi data luas hutan sesuai peruntukkannya dan berbagai kepentingan.
Penyiapan lahan TORA dilakukan melalui dua jalur yakni Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Inventarisasi non-PTKH). Inventarisasi PTKH lebih mudah proses penglepasannya karena sifatnya pemutihan. Kategori inventarisasi PTKH menyangkut lahan transmigrasi, pemukiman, kebun lahan kering, fasilitas umum dan sosial, sawah, tambak rakyat dan sebagainya.
Kawasan yang perlu dicermati adalah dari jalur non inventarisasi PTKH yang meliputi alokasi TORA dari 20% perkebunan, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) tak produktif dan program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru. Total luas lahan untuk jalur ini 1,4 juta hektare. Hingga akhir 2021, luas TORA yang sudah didistribusikan seluas 2,75 juta hektare.
Sementara untuk kegiatan perhutanan sosial KLHK menyiapkan kawasan hutannya seluas 12,7 juta hektare di seluruh Indonesia, khususnya di luar Jawa dan didominasi oleh kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
Kedudukan perhutanan sosial kini lebih kuat secara hukum karena sudah masuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Sebelumnya, perhutanan sosial hanya diatur melalui peraturan menteri. Distribusi akses perhutanan sosial memakai lima skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Hingga pertengahan 2022, realisasinya baru 5 juta hektare.
Beda lain TORA dan perhutanan sosial adalah penerima akses lahan negara dalam perhutanan sosial harus melalui kelompok tani. Karena itu, masyarakat yang hendak mengajukan menerima akses mengelola hutan negara harus membentuk kelompok sebagai syarat mendapatkan izin perhutanan sosial.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :