PLATFORM IPBES atau Kebijakan Sains Antar Pemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem melaporkan hasil kerja 77 ahli seluruh dunia mengenai produksi tanaman pangan. Selain mengutip sekitar 3.000 makalah ilmiah, laporan itu juga mencakup informasi berbagai pengetahuan asli dan lokal dari lebih 60 lokasi di belahan dunia.
Rilis 2016 itu menyebut bahwa produksi pertanian yang bergantung pada penyerbukan serangga meningkat 300% selama 50 tahun terakhir. Hampir 90% tanaman berbunga liar, sampai batas tertentu, bergantung pada penyerbukan serangga.
Sementara itu 16% penyerbuk vertebrata terancam punah secara global. Untuk spesies penyerbuk di pulau malah naik 30%. Di sini, pestisida, termasuk insektisida neonicotinoid, mengancam hewan penyerbuk di seluruh dunia, meskipun efek jangka panjangnya belum terlihat. Berapa nilai ekonominya? US$ 577 miliar per tahun produksi pangan bergantung pada kontribusi langsung hewan penyerbuk.
BACA: Dasgupta Review Soal Nilai Ekonomi Lingkungan
Para ahli IPBES pun menyarankan serangkaian tindakan untuk melindungi hewan penyerbuk itu. Dari memastikan keanekaragaman habitatnya hingga mempromosikan pertanian berkelanjutan, terutama praktik-praktik tradisional, seperti pengelolaan lahan tidak merata dengan rotasi tanaman agar ada keanekaragaman hewan penyerbuk. Juga pendidikan, pertukaran pengetahuan, hingga mengurangi pestisida.
Pada Mei 2019, IPBES yang beranggotakan 94 negara itu, kembali merilis penilaian global mengenai ancaman utama keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Naiknya populasi manusia, menurut para ahli ini, menjadi pendorong tidak langsung kepunahan keanekaragaman hayati. Adapun pendorong langsung berasal dari segala sesuatu yang diperbuat manusia yang menjadi penyebab rusaknya keanekaragaman hayati.
Interpretasi atas “populasi manusia” yang dipermasalahkan itu, tentu bukan hanya soal jumlah, tapi imbasnya yang berdampak pada naiknya kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan pangan memerlukan lahan. Lahan mengonversi hutan yang menyimpan keranekaragaman hayati menjadi monokultur.
Sejauh ini, saran-saran seperti rekomendasi para ahli IPBES sudah banyak. Setiap negara juga telah punya rencana aksi strategis mengendalikan kerusakan keanekaragaman hayati. Pada tingkat wilayah telah pula ada kajian lingkungan hidup strategis, rencana dan program agar arus utama lingkungan hidup diperhatikan. Dan pada tingkat kegiatan atau proyek, selain ada analisis mengenai dampak lingkungan, juga rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
Kita telah pula mengetahui bahwa urusan keanekaragaman hayati, secara alamiah, mempunyai sifat barang publik. Misalnya, suatu siklus hidup mutualistis dengan hayati (tumbuhan dan hewan) beragam itu bermanfaat bagi banyak orang. Misalnya, keberadaan penyerbuk, seperti kupu-kupu, serangga, burung atau kelelawar, yang ikut menjadi peran penentu dalam proses pembuahan maupun penyebaran biji. Sayangnya, aktivitas kita berkebalikan, bahkan dibuat wajar.
Industri menciptakan pestisida untuk membunuh hama dengan dalih produktivitas pertanian. Padahal, pestisida juga membunuh hewan penyerbuk yang juga bermanfaat menaikkan produktivitas. Hutan dikonversi dengan dalih menaikkan nilai lahan dengan perkebunan monokultur. Padahal konversi membunuh keanekaragaman hayati.
Logika yang terlihat masuk akal itu digunakan juga oleh negara. Dalam menghitung pendapatan nasional ataupun daerah, kerusakan keanekaragaman hayati serta jasa lingkungan secara luas tak termasuk ongkos atau pengorbanannya. Alasannya agar nilai pendapatan itu tidak turun atau tidak kecil. Kita didorong untuk bangga bila pendapatan negara ikut naik. Padahal ongkosnya adalah pengorbanan keanekaragaman hayati, yang ditak dihitung sebagai pengurang pendapatan itu.
Pekan lalu, saya ikut dalam pembahasan indikator keanekaragaman hayati setelah 2020 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Ada dua komponen penentu: indikator pengurangan ancaman berupa perlindungan, pengawetan dan pengendalian; dan indikator pemanfaatan berkelanjutan dengan memasukkan unsur-unsur lingkungan, sosial dan tata kelola serta program besar seperti pembangunan berkelanjutan, ekonomi sirkular maupun pertumbuhan hijau.
Inisiatif ini penting dan mendesak. Ketika kita tahu bahwa peran keanekaragaman hayati semakin penting tetapi kepedulian terhadapnya semakin memudar, ada yang keliru dalam penyusunan kebijakan. Namun, selalu ada catatan dalam tiap inisiatif.
Catatan pertama. Indikator yang dibahas terlalu umum sebagai indikator tujuan pembangunan berkelanjutan. Maka keanekaragaman hayati direduksi menjadi “sumber daya hayati”, sehingga manfaat kunci bagi kehidupan dari nilai-nilai intangible, termasuk aneka ragam sosial budaya penopangnya sebagai “kesatuan keanekaragaman”, tidak masuk ke dalam kriteria.
BACA: Secara Global Jumlah Burung Berkurang Dratis
Catatan kedua. Secara positif, indikator yang tepat bagi keberlanjutan keanekaragaman hayati bisa menjadi instrumen penyempurnaan indikator ekonomi yang berpusat pada nilai tambah finansial dan material. Indikator seperti itu kurang mencerminkan kebutuhan publik yang dalam kenyataannya melampaui soal-soal finansial dan material.
Di sisi lain, banyak ahli menyebut tak masuknya indikator ekonomi bukan karena kelemahan penjelasan ilmiahnya, tetapi karena kepentingan di baliknya. Dengan kata lain, kebijakan publik masih melindungi kelompok-kelompok yang mampu mendatangkan manfaat ekonomi sambil menghapus kepedulian mereka terhadap keanekaragaman hayati. Karena ditopang regulasi, pengabaian nilai keanekaragaman hayati menjadi sah.
Artikel “Building a Multidimensional Biodiversity Index : A scorecard for biodiversity health“, bisa menjadi alternatif rujukan bagi Bappenas menentukan nilai keanekaragaman hayati. Penulisnya, Soto-Navarro et al. mengusulkan indeks keanekaragaman hayati dengan dua sub-indeks: status keanekaragaman hayati dan kontribusi keanekaragaman hayati terhadap kehidupan masyarakat.
Sub-indeks status keanekaragaman hatai berguna untuk mengukur integritas ekologi, melalui tiga dimensi: keanekaragaman, kelimpahan, dan fungsi. Sub-indeks bisa dipakai untuk mengukur enam tujuan kesehatan keanekaragaman hayati, yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman filogenetik, keanekaragaman taksonomi, populasi spesies, komposisi komunitas maupun habitat darat dan air tawar.
Adapun sub-indeks kontribusi keanekaragaman hayati berguna untuk mengukur status dan pemanfaatan berkelanjutan melalui tiga dimensi: regulasi proses lingkungan, penyediaan bahan dan bantuan, maupun pemberian kontribusi non-materi.
BACA: PBB: 40% Lahan Dunia Terdegradasi
Sub-indeks ini bisa dipakai untuk mewujudkan enam tujuan kesehatan bagi publik yang terkait dengan ketersediaan air bersih, mitigasi perubahan iklim, perlindungan bencana alam, penyediaan makanan—mencakup pertanian berkelanjutan, pemeliharaan agrobiodiversity dan pengetahuan tradisional, mata pencaharian, maupun kesehatan dan kualitas hidup. Yang disebut terakhir ini mencakup kedekatan dengan alam maupun perlindungan tempat-tempat khusus terkait sosial dan budaya.
Bila indeks keanekaragaman hayati seperti itu diterapkan—yang berarti seluruh indikator penilaiannya dijalankan—kita bisa membayangkan daya tarik dan daya dorongnya bagi pembentukan sistem ekonomi di suatu negara. Ia bukan hanya identik dengan finansial dan material dengan nilai tambahnya, tetapi semua itu berjalan dalam konfigurasi keanekaragaman sosial, budaya dan hayati sebagaimana pembangunan berkelanjutan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :