BEBAN hutan produksi paling berat dibanding hutan konservasi atau hutan lindung. Seperti namanya, pemerintah menyiapkan fungsi hutan ini untuk memproduksi hasil hutan. Dengan kata lain, hutan produksi disiapkan untuk dieksploitasi. Maka, bisakah penebangan pohon di hutan produksi disebut deforestasi?
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, penentuan hutan produksi berdasarkan faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan. Luas hutan produksi merupakan perkalian faktor-faktor ini dengan angka penimbang yang kurang atau sama dengan 175, di luar kawasan lindung, kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.
Kriteria hutan produksi adalah kawasan hutan dengan lereng tanah kurang dari 40%, berada pada ketinggian kurang 2.000 meter, tanah sangat peka terhadap erosi, bukan daerah resapan air, dan bukan daerah perlindungan pantai. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan produksi seluas 68,8 juta hektare, dari 120,3 juta hektare kawasan hutan.
Dari luas itu yang masih berhutan seluas 45,5 juta hektare, terdiri dari hutan primer 17,0 juta hektare, hutan sekunder 24,7 juta hektare, dan hutan tanaman 3,9 juta hektare. Antara 1970-2000, hutan produksi telah diberikan konsesinya kepada sekitar 600 perusahaan dengan luas 64 juta hektare.
Selain pemanfaatan, hutan produksi juga punya beban penggunaan hutan. Ini istilah yang dipakai merujuk pada pemakaian lahan hutan produksi untuk pembangunan nonkehutanan, seperti pertambangan, jalan, instalasi listrik, telekomunikasi, rel kereta api, waduk, dll.
Untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan itu hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) bisa dialihfungsikan untuk tujuan lain melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL). Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, misalnya, akan diproses menjadi hak guna usaha (HGU).
Dalam kasus tertentu, hutan produksi dapat digunakan untuk kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK), kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) dan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP). Juga perhutanan sosial.
Secara normatif, hutan produksi memang disiapkan untuk budi daya tanaman hutan. Karena itu kegiatan penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan menjadi satu paket rangkaian proses produksi kegiatan budi daya tanaman hutan. Prinsip-prinsip kelestarian hutan dalam budi daya tanaman hutan dijaga dengan mengatur daur dan siklus tebang secara tertib dan berurutan sesuai dengan aspek-aspek silvikultur.
Selama ini, ada yang menganggap budi daya tanaman hutan sebagai rehabilitasi hutan karena di dalamnya ada kegiatan reboisasi (revegatasi dalam kawasan hutan). Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Dalam regulasi, rehabilitasi hutan diartikan sebagai kegiatan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan terjaga.
Rehabilitasi hutan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang ada di hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan bisa dipertahankan secara maksimal. Karena itu rehabilitasi hutan menekankan aspek pemulihan kawasan hutan akibat kegiatan yang menyebabkan deforestasi pada kawasan hulu daerah aliran sungai.
Berdasarkan DAS, jenis hutan hulu sungai mestinya hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan produksi terletak di daerah tengah dan hilir. Sementara deforestasi diartikan sebagai menghilangnya wilayah hutan untuk kepentingan tertentu sehingga hutan kehilangan fungsi utamanya. Deforestasi lebih banyak karena faktor manusia yang mengubah hutan untuk peternakan, pertanian, hingga permukiman.
Maka penebangan pohon dari budi daya tanaman hutan mestinya tak tergolong deforestasi. Karena itu, sebaliknya, kegiatan penanaman tanaman hutan dalam budi daya tanaman hutan yang biasanya dilakukan di hutan produksi juga bukan termasuk dalam katagori rehabilitasi hutan.
Masalahnya, kegiatan rehabilitasi hutan acap digeneralisasi di semua kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi). Dasar pertimbangannya banyak lahan kritis di semua fungsi hutan itu.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018). Lahan kritis di hutan produksi mencapai 5,2 juta hektare.
Rehabilitasi di hutan produksi biasanya dilakukan di lahan kritis yang belum dibebani hak (kawasan hutan yang idle). Risikonya apabila hutan produksi yang telah direhabilitasi itu diminati investor—misalnya untuk hutan tanaman industri—jenis tanaman hasil rehabilitasi tersebut bisa diubah menjadi jenis lain, meskipun belum siap tebang.
Jika itu soalnya, rehabilitasi hutan di hutan produksi yang bertujuan memulihkan fungsi hutan karena rusak bisa kembali rusak seperti makna fungsi hutan dalam deforestasi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :