SWASEMBADA pangan adalah indikator ketahanan pangan sebuah negara. Swasembada pangan terjadi ketika produksi pangan atau kemampuan menyediakan pangan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri atau menggunakan indikator produksi suatu komoditas.
Produksi pangan yang naik tak menunjukkan pencapaian ketahanan pangan. Sebab, unsur ketahanan pangan pada akhirnya adalah kesejahteraan petani.
Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), menerangkan tujuan akhir ketahanan pangan adalah terciptanya individu yang terpenuhi gizi dan nutrisi secara baik, sehat, dan aman sehingga bisa produktif dan terbebas dari penyakit. Jika masih ada gizi buruk, ketahanan pangan sebuah negara belum tercapai.
Pada 2021 Indonesia memiliki angka prevalensi stunting atau kontet sebesar 24,4%. Prevalensi stunting merupakan indikator mengukur persentase anak balita yang memiliki tinggi di bawah rata-rata penduduk.
Sedangkan untuk angka kerawanan pangan pada 2021 mencapai 4,79% yang menggambarkan tingkat ketidakmampuan rumah tangga atau individu dalam mengakses makanan yang dibutuhkan secara reguler. "Produksi pangan yang meningkat tidak berkaitan dengan penyelesaian kedua problem besar itu," kata Said.
Kemiskinan menjadi faktor yang melekat dengan kasus kerawanan pangan maupun stunting akibat daya beli pangan yang rendah. Masalahnya, kasus-kasus stunting atau minimnya akses pangan melanda sebagian besar petani di desa.
Petani di desa identik dengan kepemilikan lahan pertanian yang kecil maupun menjadi buruh tani. Mereka menanam tanaman pangan tetapi mereka juga terancam kelaparan.
Persoalan itu akan terus menjadi momok pembangunan Indonesia jika orientasinya masih pada produksi pangan. Seharusnya, kata Said Abdullah, orientasi pembangunan pertanian digeser menjadi peningkatan kualitas hidup dari petani.
Swasembada pangan juga tidak berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan petani jika diukur dengan nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP). NTPP menggambarkan perbandingan antara nilai yang dihasilkan petani dengan nilai yang dibelanjakan merea. Jika nilai NTPP di bawah 100 artinya terjadi defisit kemampuan akses pangan petani kita.
Menurut Said, selama 3 tahun terakhir sejak 201 tren NTPP menurun. Tahun 2019, NTPP sebesar 101 sementara di tahun 2021 itu menjadi 98,21. Pada Juli 2022 NTPP menjadi 97,98. "Produksi pangan memang naik, tapi nilai tukar petani malah turun," kata Said.
Dalam periode itu Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) menilai Indonesia bisa mencapai swasembada beras. Sehingga pada 17 Agustus 2022, mereka memberikan penghargaan kepada pemerintah. Dengan indikator hanya pada impor beras, IRRI menilai Indonesia sudah mencapai ketahanan pangan.
Cara mencapai ketahanan pangan dan swasembada pangan adalah manajemen pertanian yang berkelanjutan yang berfokus pada peningkatan kelayakan hidup petani.
Dengan meningkatkan taraf hidup petani, penyediaan pangan biasanya berkorelasi dengan peningkatan kualitas produksi pangan. Infrastruktur, riset, teknologi, pendampingan petani, hingga akses pasar adalah lima faktor penopang ketahanan pangan dan swasembada pangan Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :