MENTERI Keuangan Sri Mulyani gusar mendapatkan laporan PNBP kehutanan tahun 2021 hanya 1,2%. Ini jumlah sangat kecil jika dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Indonesia pada tahun itu Rp 452 triliun.
Menurut Sri Mulyani, setoran PNBP kehutanan ini kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia yang 120 juta hektare. Apalagi, banyak hutan alam Indonesia yang sudah beralih menjadi hutan tanaman industri, bahkan jadi perkebunan kelapa sawit.
Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nominal sektor kehutanan pada 2017-2021 bahkan kurang dari 1% atau Rp 112 triliun pada 2021, naik dibanding tahun sebelumnya Rp 108,6 triliun, tapi turun secara persentase. Padahal, meski kecil, menurut Sri Mulyani, sektor ini tumbuh rata-rata 5-6% per tahun.
Menurut Sri Mulyani pertumbuhan yang terlampau kecil ini pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare, menurut pemerintah tinggal 120 juta hektare hingga 2020. Luas hutan Indonesia ini belum terkonversi menopang pertumbuhan ekonomi.
Di era Orde Baru, pemasukan negara sektor kehutanan US$ 16 miliar, nomor dua setelah minyak dan gas. Menteri Keuangan memprediksi sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi, namun PNBP kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum, banyaknya aset menganggur (idle).
Selama ini hutan hanya dilihat dari manfaatnya secara langsung, yakni kayu. Dalam satu hektare hutan alam tropis Indonesia hanya ada 8-10 pohon jenis Dipterocarpaceae dengan volume rata-rata 50 m3 saja. Padahal keragaman jenis kayu yang ada dalam hutan alam tropika Indonesia sangat tinggi.
Masalahnya, sistem silvikultur untuk jenis kayu Shorea yang menyelingi jenis Dipterocarpaceae ini belum dikuasai oleh para ahli kehutanan Indonesia, sehingga panen kayu Shorea mengandalkan kayu yang tumbuh secara alami.
Soal lain: jika hanya mengandalkan kayu, nilai hutan memang kecil. Hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai kecil ini selalu jadi alasan konversi hutan menjadi perkebunan, perumahan, atau lahan pertanian. Padahal, dalam ekosistem hutan ada simpanan karbon, ada air, ada jasa lingkungan yang tak ternilai.
Untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan perlu beberapa cara:
Pertama, mengoptimalkan kawasan hutan produksi. Luas hutan produksi 68,8 juta hektare dengan luas yang yang dikleola 18,75 hektare oleh 257 perusahaan, hutan tanaman industri 11,19 juta hektare oleh 292 perusahaan, dan usaha restorasi 0,62 juta hektare.
Hutan produksi yang menganggur (idle) seluas 34,62 juta hektare itu ini telah dicadangkan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 10,04 juta hektare, moratorium hutan primer (PIPPIB), 9,88 juta hektare, KPH dengan perencanaan jangka panjang 7,69 juta hektare, perhutanan sosia 3,55 juta hektare, dan konsesi 3,46 juta hektare.
Kedua, kurangnya pengawasan. Jumlah aparat jagawana (polisi kehutanan) seluruh Indonesia pusat dan daerah sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 120 juta hektare. Idealnya, tiap jagawana mengawasi 500-1.000 hektare sehingga butuh 125.000 jagawana.
Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Dalam kasus-kasus penjarahan hutan, pemerintah acap kalah di pengadilan. Kawasan hutan yang jadi kebun kelapa sawit kini seluas 3,1 juta hektare yang belum jelas penanganannya.
Keempat, struktur PNBP sektor kehutanan sudah kadaluwarsa karena provisi sumber daya hutan (PSDH) menggunakan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P. 64/2017. Demikian pula dengan tarif dana reboisasi yang perlu ditinjau lagi.
Kelima, penerapan pajak karbon. Pajak karbon kehutanan layak disegerakan karena sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48,5% emisi nasional pada 2010.
Selain penerimaan negara, pajak karbon bisa jadi instrumen mitigasi krisis iklim. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat dunia bisa menjadi ladang baru bagi bisnis disektor kehutanan.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak karbon sebesar Rp 26-53 triliun atau 0,2-0,3% PDB dengan asumsi tarif pajak sekitar US$ 5-10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi. Jika hampir separuh emisi disumbang sektor kehutanan, pajak karbon setidaknya akan menyumbang Rp 14-26 triliun per tahun. Perkiraan angka pajak ini bisa mencerminkan nilai PNBP kehutanan yang lumayan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :