PEMBALAKAN liar atau ilegal logging di Indonesia terjadi sejak masa penjajahan sampai industri kayu redup setelah kejatuhan Orde Baru. Pada masa kejayaan industri kayu, 1970-2000, hutan hujan tropis Indonesia rusak.
Kaoem Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) merekam potret pembalakan liar di Indonesia selama lebih dari dua puluh tahun (1999-2020). Rekaman ini diabadikan dalam film dokumenter berjudul “Indonesia Berjuang Untuk Hutan Yang Tersisa”. Dokumenter diambil dari hasil investigasi pembalakan liar yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Pembalakan liar terjadi karena adanya sistem perdagangan yang tersusun rapi di dalam negeri atau antar negara. Negara produsen kayu seperti Indonesia memainkan peran penting dalam rantai pasok kayu bagi negara-negara lain. Pada masa pemerintahan Soeharto, muncul raja-raja kayu dan aparat sipil yang bermain dalam bisnis gelap perdagangan kayu ilegal.
Ironisnya kayu-kayu diambil dari beberapa taman nasional, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan Taman Nasional Leuseur di Aceh. Jenis kayu yang diambil adalah kayu ramin yang merupakan kayu endemik lahan gambut.
Kayu Ramin memiliki kelas kekuatan dan keawetan yang tinggi sehingga dipakai oleh beberapa industri untuk membuat lantai kayu dan peralatan lain.
Kayu Ramin diambil dari hutan lalu diantar ke sungai dengan rel log yang dibuat para pembalak. Di pinggir sungai kayu Ramin ditumpuk menunggu tongkang yang akan mengantarnya ke berbagai negara.
Kaoem telapak dan EIA mengkampanyekan fenomena pembalakan liar lewat investigasi. Mereka mendesak Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) memasukkan kayu ramin ke dalam Appendix 3 CITES pada tahun 2001. Pada saat itu pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium untuk penebangan kayu Ramin.
CITES adalah perjanjian internasional yang ditandatangani sebagian besar negara di dunia yang mengatur perdagangan satwa dan tumbuhan untuk mencegah kepunahan.
Kampanye itu membawa dampak lebih luas bagi perdagangan kayu dunia. Pada 2001 muncul deklarasi Bali yang diadakan bersama Bank Dunia. Deklarasi itu membahas tentang penegakan hukum dan tata kelola kehutanan atau yang biasa dikenal dengan Forest Law Enforcement and Governance and Trade (FLEGT). Beberapa bulan setelah deklarasi itu, pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat ke berbagai negara.
Raja-raja kayu, pengusaha dan politikus elite Indonesia, melebarkan eksploitasi hingga ke pulau Papua. Kayu incaran mereka adalah kayu merbau yang juga memiliki kekuatan dan keawetan yang cukup baik. Pembalakan kayu itu menyebabkan keterancaman masyarakat adat yang tinggal di daerah hutan.
Permintaan kayu tropis keras semakin meningkat dengan banyaknya penebangan liar yang beredar. Dunia barat mencari cara untuk mengidentifikasi legalitas kayu dan produk kayu yang dijual lewat pelabuhan mereka. Pada tahun 2005, Uni Eropa membuat kebijakan penegakan hukum dan tata kelola kehutanan dalam perdagangan (FLEG-T) yang dijalankan secara perjanjian kemitraan sukarela atau Voluntary Partnership Agreement (VPA).
Kebijakan itu hanya mengatur hubungan bilateral masing-masing negara yang berkaitan dengan jual beli kayu. Tujuannya adalah kayu dan produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa hanya berasal dari sumber yang legal.
Perjuangan untuk mengentaskan pembalakan liar terus dilakukan hingga Indonesia menetapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang disahkan sebagai peraturan Menteri Kehutanan Nomor P38/2009 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.
“Film ini menggambarkan semangat bahwa aksi kecil yang konsisten dan kolaboratif, lambat laun akan membawa dampak yang besar,” ujar Minang, Presiden Kaoem Telapak. Konsistensi Kaoem Telapak dan EIA memantau pembalakan liar membuahkan hasil bagi pengelolaan hutan khususnya dalam mengurangi pembalakan liar.
Menurut Minang, pelajaran utama dari pemantauan itu adalah perlunya kolaborasi pelbagai pihak membuat regulasi hingga penegakan hukum agar pembalakan liar berhenti untuk melindungi hutan Indonesia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :