SETIAP hari 93% penduduk Jakarta menghirup udara yang tercemar. Konsentrasi rata-rata tahunan PM2,5 di udara Jakarta mencapai 25 mikron per meter kubik, berdasarkan riset Greenpeace terbaru yang dirilis pada 7 September 2022. "Jumlah itu, lima kali lebih besar dari ambang batas aman yang direkomendasikan WHO," kata Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace pada 9 September 2022.
PM2,5 atau particulate matter berukuran 2,5 mikron merupakan salah satu partikel pencemar udara yang paling halus, tak kasat mata dan berbahaya bagi kesehatan.
Data WHO menunjukkan bahwa PM2,5 sangat berbahaya karena bisa menembus jauh ke paru-paru, memasuki aliran darah dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler hingga stroke. PM2,5 berasal dari pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil kendaraan bermotor maupun industri.
Selain Jakarta, riset itu juga mencakup Banten, Sumatera Utara, dan Jawa Barat, tiga provinsi dengan kadar PM2,5 yang tinggi. Kandungan PM2,5 di udara ketiga provinsi itu 63%, 57%, dan 46%.
Masyarakat yang tergolong kelompok rentan terpapar udara kotor di provinsi-provinsi itu adalah perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas—khususnya bagi masyarakat marjinal secara sosial dan ekonomi. Menurut riset Greenpeace itu mereka tidak memiliki pilihan selain menghirup udara berbahaya tersebut.
Bondan mengatakan udara bersih adalah hak manusia paling asasi. "Mengabaikan hak masyarakat atas udara bersih adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia," kata Bondan.
Riset Greenpeace soal polusi ni juga menyoroti akses penduduk ke Stasiun Pemantau Kualitas Udara. Secara keseluruhan sekitar 64% dari total penduduk di Indonesia tidak memiliki akses ke stasiun pemantau kualitas udara dalam jarak 25 kilometer. Menurut Greenpeace, hanya 10% penduduk yang memiliki akses ke stasiun pemantau kualitas udara dalam jarak 5 kilometer.
Riset ketidakadilan udara juga digelar di enam negara lain, yaitu India, Malaysia, Thailand, Filipina, Turki dan Afrika Selatan. India menjadi negara yang penduduknya paling banyak terpapar PM2,5. Lalu Turki dan Afrika Selatan. Di India, 95% penduduk terpapar PM2,5 lebih dari 25 mikron per meter kubik dan 57% terpapar PM2,5 lebih dari sepuluh kali lipat pedoman WHO.
Di tujuh negara tersebut, menurut riset itu, proporsi ibu hamil tinggal lebih dari 25 kilometer dari stasiun pemantau kualitas udara lebih besar dari rata-rata populasi (75% di India, 67% di Indonesia, 25% di Malaysia, 53% di Filipina, 47% di Afrika Selatan, 45% di Thailand dan 26% di Turki).
Demikian pula proporsi ibu hamil yang hidup dalam jarak 5 kilometer dari stasiun pemantau kualitas udara lebih kecil daripada seluruh populasi sebagian besar negara yang diteliti (7% di India, 9% di Indonesia, 26% di Malaysia, 19% di Filipina, 18% di Afrika Selatan, 27% di Thailand dan 24% di Turki).
Di Indonesia, proporsi bayi dan orang lanjut usia yang tinggal lebih dari 25 kilometer dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara lebih besar dari rata-rata populasi yakni 64%, bayi 77%, dan lanjut usia 79%).
Tidak adanya cukup data dan ketersediaan stasiun pemantau kualitas udara menggambarkan konsentrasi PM2.5 membuat penilaian dampak risiko kesehatan akibat polusi udara sulit dilakukan.
Stasiun Pemantau Kualitas Udara di Indonesia memakai indeks polutan udara yang berbeda dari indeks yang diakui secara internasional. Pada 2021, WHO telah merevisi nilai ambang baku pencemaran udara untuk PM2,5 menjadi 5 mikron per meter kubik untuk rata-rata tahunan dan 15 mikron per meter kubik untuk rata-rata harian.
Sementara Indonesia masih menggunakan nilai ambang baku pencemara udara untuk PM2,5 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.
Berdasarkan aturan tersebut NAB untuk PM2,5 di Indonesia sebesar 15 mikron per meter kubik untuk rata-rata tahunan dan 65 mikron per meter kubik untuk rata-rata harian. Menurut Bondan Andriyanu, perlu revisi aturan dan penambahan stasiun kualitas udara untuk mencegah paparan udara Jakarta dan seluruh Indonesia yang buruk lebih lama.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :