SETAHUN setelah “bercerai” dalam perjanjian perdagangan karbon, pemerintah Indonesia dan Norwegia kembali rujuk. Pada 12 September 2022, tepat setahun dua hari setelah putus kerja sama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani nota kerja sama dengan Menteri Iklim dan Lingkungan Espen Barth Eide.
Nama resminya bukan kerja sama perdagangan karbon karena skemanya belum jalan di pasar domestik. Kerja sama itu adalah pengurangan emisi gas rumah kaca melalui FOLU net sink. Ini nama program penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi lahan di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and land other use, FOLU).
Penurunan emisi melalui pencegah deforestasi itu akan dibayar Norwegia per ton karbon yang bisa dihindarkan. Dalam kesepakatan itu, Norwegia berjanji membayar Indonesia, melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), US$ 56 juta untuk penurunan deforestasi 2016-2017.
Sebetulnya ini angka yang sama dengan perjanjian penurunan deforestasi dan degradasi (REDD+) sejak 2010 yang diputus tahun lalu. Waktu itu Norwegia hendak membayar US$ 56 juta karena Indonesia berhasil menurunkan emisi 11,2 juta ton setara CO2 untuk penurunan deforestasi 2016-2017.
Praktiknya Norwegia tak kunjung membayar dan menepati janjinya itu. Pemerintah Indonesia lalu memutus kerja sama perdagangan karbon itu dengan alasan “tidak adanya kemajuan konkret implementasi kewajiban pemerintah Norwegia merealisasikan pembayaran result based payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia periode 2016-2017 itu.”
Result based payment atau pembayaran berbasis kinerja adalah satu skema dalam perdagangan karbon yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang nilai ekonomi karbon. Maksudnya, pengurangan emisi dibayar berdasarkan hasil verifikasi usaha mencegah pelepasan emisi melalui perlindungan hutan.
Kini kedua pemerintah rujuk dengan perjanjian di bawah angka-angka target penurunan emisi yang sama dengan perjanjian sebelumnya. Rilis pemerintah Norwegia menyebutkan “kontribusi berdasarkan hasil tambahan akan dilakukan setiap tahun untuk pengurangan emisi untuk tahun-tahun berikutnya”.
“Kemitraan hutan dan iklim yang baru mencakup model berbasis hasil,” kata Barth Eide, seperti dikutip rilis pemerintah Norwegia seusai perjanjian. “Di mana Indonesia menetapkan strategi dan mengelola dana, Norwegia memberikan kontribusi keuangan berbasis hasil tahunan untuk pengurangan emisi Indonesia.”
Beda dengan perjanjian sebelumnya, pemerintah Norwegia menyebutkan bahwa janji pembayaran penurunan emisi itu untuk mendukung program FOLU net sink. Program ini punya target menurunkan emisi sektor kehutanan 140 juta ton hingga 2030.
Angka penurunan emisi itu baru 28% dari target sektor kehutanan menurunkan emisi hingga 2030.
Secara umum, pemerintah Indonesia hendak menurunkan emisi 29% dengan usaha sendiri pada 2030 dari prediksi emisi 2,87 miliar ton setara CO2. Sektor kehutanan dan penggunaan lahan punya target menurunkan emisi sebanyak 17,4%.
Menurut Eide, Indonesia telah mengurangi deforestasi selama enam tahun terakhir dan memiliki tingkat deforestasi terendah dalam 20 tahun. Pada 2019-2020, Indonesia melaporkan deforestasi seluas 115.500 hektare. Angka ini turun hampir 90% dari 1,09 juta hektare pada 2014-2015.
Poin penting perjanjian baru penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi adalah verifikasi pengurangan emisi oleh pihak ketiga. Dalam perjanjian lama, kedua negara tak kunjung sepakat dengan data penurunan emisi program REDD+.
Rilis pemerintah Norwegia menyebutkan bahwa “kontribusi penurunan deforestasi yang dihasilkan pada 2020/2021 dan seterusnya akan didasarkan pada protokol measuring, reporting and verifying (MRV) yang diperbarui dan disepakati bersama”.
Bagaimana pun rujuk Indonesia dan Norwegia dalam perdagangan karbon ini menggembirakan. Mitigasi krisis iklim butuh kerja sama negara maju dan berkembang. Indonesia yang punya hutan tropis luas, mendapatkan insentif mencegah deforestasi dari negara maju seperti Norwegia yang memproduksi emisi lebih banyak.
Dengan jumlah penduduk 5,2 juta, tiap orang Norwegia menghasilkan emisi 8,28 ton per tahun atau empat kali lipat produksi emisi per kapita orang Indonesia. Emisi Norwegia paling banyak berasal dari industri dan transportasi.
Kerja sama perdagangan karbon lewat FOLU net sink ini, Norwegia membantu Indonesia yang berjasa mencegah deforestasi untuk menghentikan gas rumah kaca ke atmosfer.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia
Topik :